Inilah akhirnya Catatan Penting Terkait RUU Perlindungan Umat Beragama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia memberi sejumlah catatan penting terkait rencana Kementrian Agama untuk membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama.
Menurut dia, hal tersebut baik bila memang bertujuan melindungi dan memfasilitasi warga negara agar dapat menjalankan ajaran agama sesuai agama dan keyakinan masing-masing sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi.
Namun, seperti dikutip dari icrp-online.org, Minggu (2/11), ada beberapa poin penting yang harus jadi catatan dalam RUU Perlindungan Umat Beragama yang di gagas oleh Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin tersebut.Poin-poin itu adalah sebagai berikut:
Pertama, definisi perlindungan hendaklah sungguh-sungguh dimaksudkan sebagai melindungi dan memfasilitasi warga negara agar dapat menjalankan ajaran agama sesuai agama dan keyakinan masing-masing sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi. Sebab, dalam prakteknya istilah melindungi sering kali berubah arah menjadi membelenggu dan membatasi. Hal ini harus dicermati sejak awal agar tidak salah kaprah.
Kedua, definisi umat beragama harus jelas. Yaitu mencakup semua warga negara di republik ini, tanpa kecuali. Bukan hanya mencakup penganut enam agama seperti dalam peraturan yang sudah ada. Selain itu, RUU Perlindungan Umat Beragama mengatur agar tidak terjadi monopoli tafsir oleh kelompok mayoritas. Tafsir minoritas pun harus dilindungi.
Ketiga, RUU Perlindungan Umat Beragama tersebut sungguh-sungguh melindungi dan menjamin adanya kebebasan beragama bagi semua warga negara tanpa kecuali, apa pun agama dan keyakinan mereka, bahkan juga mencakup mereka yang mengaku atheis atau tidak beragama.
Keempat, RUU Perlindungan Umat Beragama tersebut hanya mengacu kepada Pancasila, Konstitusi dan sejumlah UU yang terkait di negeri demokrasi ini, khususnya UU Penegakan HAM Tahun 1999, UU Hak-hak Sipol 2005, bukan mengacu kepada ajaran agama atau kitab suci tertentu.
Kelima, posisi pemerintah adalah menjadi wasit yang bersikap adil, netral dan imparsial. Siapa pun yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dalam beragama harus ditindak tegas sesuai aturan berlaku.
Keenam, pemerintah wajib mendorong agar interpretasi agama yang berkembang di negeri ini hanyalah interpretasi yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi yang humanis dan pluralis sejalan dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan warisan leluhur Indonesia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...