Festival Gendhing Gerejawi Memadukan Budaya dan Religiusitas
BEKASI, SATUHARAPAN.COM – Hari Sabtu (1/11) suasana di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pondok Gede, Bekasi semarakkan oleh lantunan bait-bait kidung gereja bahasa jawa dalam nada-nada pentatonis dengan iringan gamelan. Gendhing pujian itu menjadi perpaduan yang apik antara budaya (Jawa) dan religiusitas kekritenan.
Gendhing Jawa dalam syair kidung gereja itu ditampilkan dalam Festival Gendhing Gerejawi yang diselenggarakan oleh gereja-gereja Jawa yang ada di Jakarta dan sekitarnya, yang tergabung dalam Klasis Jakarta bagian Barat dan Timur, dan sekitarnya. Acara dua tahunan itu adalah yang kelima diselenggarakan, dan kali ini GKJ Pondok Gede menjadi tuan rumah.
Ada 13 tim yang tampil dalam festival itu dengan masing-masing membawakan dua gendhing, dan di antaranya dengan irama ladrang, lancaran dan sampak. Tim dari GKJ Kanaan, kali ini tampil sebagai tim dengan penampilan terbaik.
Festival ini dibuka oleh Lurah Jati Murni, seorang ibu berdarah Batak, Indrawati Gita Pasaribu, yang baru tiga bulan menjadi lurah di tempat itu. Dia adalah perempuan pertama menjabat lurah setempat. Dia mengharapkan festival itu menjadi dara pengembangan kreativitas dan apresiasi terhadap budaya dan kesatuan.
Anak dan Pemuda
Dalam festival gendhing ini yang tampil bukan hanya warga gereja senior yang sebelumnya akrab dengan budaya jawa, khususnya alat musik gamelan dan gendhing, tetapi juga menampilkan sejumlah tim yang terdiri dari anak-anak, juga remaja dan pemuda.
Mereka yang lahir dan hidup dalam budaya perkotaan itu ternyata mampu menunjukkan kecintaan pada musik ini. Mereka menampilkan kedalaman dalam penguasaan gending. Bahkan satu kelompok pemuda tampil di antara tim terbaik.
Pendeta Samuel Silo Samekto dari GKJ Pondok Gede, dalam pembukaan mengatakan bahwa tema festival “Melaksanakan Misi Tuhan di Bumi” berkaitan dengan menjadi utusan dalam konteks budaya. Warga GKJ, menjadi utusan di tengah budaya Jawa yang harus mensyukuri budaya itu, memeilihara dan mengembangkannya dan menjadikan untuk kemuliaan Tuhan.
Sementara itu, Ketua Umum Sinode GKJ, Pendeta Dr. Untung Wiyono dalam sambutannya mengungkapkan bahwa warga GKJ hidup dalam konteks budaya Jawa dan sub kultur Surakartan, Ngayogyakartan, Semarangan dan Banyumasan. Namun warga di perkotaan hidup dalam gabungan sub kultur.
Menurut dia, festival yang semula disebut sebagai Festival Gendhing Rohani ini diharapkan juga bisa bermanfaat bagi gereja lain dan memperkaya musik dan lagu untuk liturgi gereja. Partitur gendhing Jawa ini tengah dikumpulkan agar bisa dimanfaatkan dengan lebih luas.
Para Pengamat
Festival ini menghadirkan tiga pengamat yang memberi nilai dan masukan atas penampilan para tim. Mereka juga figur-figur yang telah lama berkecimpung dalam gendhing dan liturgi gereja. Mereka adalah RB Suwarno, seorang pelatih Langen Sekar, dan dokumentator gendhing-gendhing gerejawi. Kecintaannya pada gendhing bahkan dilakukan oleh pengajar di IKIP Surakarta dan Universitas Sebelas Maret ini dengan antusias untuk berbagi pengetahuan dan partitur gendhing.
Pengamat lainnya adalah Sigit Astono, seorang ahli karawitan yang belajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta dan kini menjadi Lektor di almamaternya yang telah berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Dia banyak menulis lagu untuk kidung jemaat dan lagu Jawa. Dia juga banyak menggubah ulang kidung gejerawi dalam bentuk gendhing.
Seorang pengamat lain adalag seorang pendeta lulusan teologi Universitas Kristen Satya Wacana, dan sekarang mengajar di Universitas Kristen Duta Wacana, Dr. Yusak Tridarmanto. Dia mengembangkan musik religi di kampus itu, di mana di manjedi Dekan Fakultas Teologi.
Pergelaran Wayang
Festival gendhing itu diselenggarakan dengan diawali festival “Punakawan” yang diselenggarakan hari Jumat (31/10), dan ditutup dengan pergelaran wayang kulit. Ki dhalang Fendi Susanto, seorang pendeta yang juga belajar pedalangn dari Pasinaon Dhalang Mangkunegaran, Surakarta.
Pergelaran yang ditampilkan secara padat itu menyuguhkan lakon “Wahyu Makutha Kaswargan.” (atau Wakyu Mahkota Surgawi). Dalam lakon ini dikisahkan tentang “Wahyu” yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Namun oleh Begawan Kesawasidhi dijelaskan bahwa wahyu ini tidak diberikan secara perorangan yang dipahami sebagai anugerah kesaktian atau untuk berkuasa, melainkan berupa ajaran, agar orang yang menerima ajaran itu memperoleh hidup yang baik dan keselamatan.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...