Institusi Pendidikan Islam Perlu Tingkatkan Pola Berpikir Kritis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Institusi dan sistem pendidikan di banyak negara Islam perlu berbenah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan lulusan mereka. Kondisi pengajaran dan tradisi keilmuan mereka saat ini jauh dari cerminan sekolah dan sistem pendidikan di era peradaban Islam masa lampau.
Kritik ini disampaikan Professor Mohamad Abdalla, seorang ulama dan cendikiawan muslim Australia yang juga Direktur Pusat Pengajaran dan Pendidikan Islam (CITE) University of South Australia dalam forum diskusi bertajuk ‘Islam, Knowledge, bright scholar: empowerment through education' yang diselenggarakan Kedutaan Australia di Jakarta, Selasa (9/5/2017).
Prof Abdalla mengatakan kemunduran dan ketertinggalan negara-negara Islam di bidang pendidikan antara lain disebabkan institusi pendidikan mereka kurang mengamalkan dua tradisi penting pengajaran dan pendidikan yang pernah melejitkan peradaban Islam masa lampau di bidang iptek. Dua tradisi tersebut yaitu institusi dan sistem pendidikan yang menghormati kebebasan akademik dan mengutamakan berpikir kritis.
"Fakta yang kita temui di mayoritas negara Islam saat ini yaitu bahwa berpikir kritis dan kebebasan akademik tidak lagi menjadi faktor atau elemen utama. Sebaliknya mereka lebih menekankan pada menghafal dan pengulangan," ungkapnya.
"Kebebasan akademik umumnya juga dikekang. Padahal kebebasan akademik dahulu amat dihormati dan meskipun ada perdebatan mengenai rasionalisme, tapi mereka tidak pernah mengabaikan rasionalisme yang merupakan rumah bagi logika dan intelektualitas," jelasnya.
Menurutnya kondisi ini menyebabkan perkembangan iptek di negara-negara Islam mengalami stagnasi dan bahkan tertinggal dari negara-negara barat. Lebih memprihatinkan lagi, katanya, kondisi ini menyebabkan kajian mengenai Islam menjadi bidang ilmu yang kurang menarik.
"Penelitian CITE di sekolah-sekolah Islam di Australia menunjukan salah satu bidang yang paling lemah adalah Kajian Islam. Murid-murid sekolah menengah juga mengaku kajian Islam membosankan, banyak pengulangan dan tidak relevan," jelasnya.
Untuk membalikkan kondisi ini, Prof Abdalla mengatakan institusi pendidikan perlu menyuburkan kembali tradisi berpikir kritis dan penghormatan atas kebebasan akademik.
Prof Abdalla juga memaparkan bagaimana peradaban Islam masa lalu membangun interkoneksi dengan merangkul peradaban di luar Islam. Sehingga iptek menjadi alat yang mempersatukan bukan mengkotak-kotakan masyarakat.
"Ketika peradaban Islam mulai meluas dan akhirnya bersentuhan dengan peradaban Yunani, tidak terkecuali hasil karya dari pemikir Yunani seperti Aristoteles dan lain-lain. Mereka bisa saja menolak dan menghancurkan karya-karya ilmiah dan intelektual peradaban Yunani mengingat perbedaan prinsip yang kontras antara Yunani dan Islam," katanya.
“Pesannya adalah, penting untuk belajar dari orang lain. Tapi kita harus memfilter pembelajaran itu melalui cara pandang Islam yang tidak melihat dunia secara hitam putih, tapi sebagai sesuatu yang saling terhubung dan kita harus bekerja bersama untuk meningkatkan martabat manusia.”
Diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan delegasi intelektual muslim dari CITE UniSA selama dua pekan di Indonesia. Mereka menggelar 12 diskusi di sejumlah perguruan tinggi Islam di Jakarta, Surabaya, Semarang, Jogjakarta dan Makassar.
Di Jakarta CITE juga menandatangai MOU kerjasama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Selain Prof Abdalla, hadir juga peneliti dari CITE -UniSA seperti Dr Nada Ibrahim yang berbicara mengenai peran intelektual muslim perempuan, Dylan Chown dengan topik pendidikan di sekolah-sekolah Islam, Dr Nezar Faris mengenai Leadership dalam Islam serta Dr Mahmood Nathi mengenai kajian ekonomi keuangan Islam. (australiaplus.com)
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...