Intoleransi di Indonesia Makin Massif
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dewasa ini, situasi hidup keberagamaan di Indonesia makin memprihatinkan oleh tindakan-tindakan intoleran yang dilakukan kelompok mayoritas. Dan masalahnya makin kompleks karena, menjelang "gawe" politik nasional tahun depan, yakni pemilu, tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan tokoh-tokoh politik justru melorot drastis.
Jika kecenderungan yang ada sekarang tidak berubah, konsekuensinya bisa sangat berbahaya. Sementara tindakan-tindakan intoleran makin intensif dan massif, karena seakan dibiarkan saja oleh pemerintah, pada sisi lain kepercayaan masyarakat pada sistem demokrasi juga makin hilang.
Hal itu mengemuka dalam diskusi terbatas di Ma'arif Institute hari ini (11/06) bersama Benedict Rogers, aktivis HAM dari Christian Solidarity Worldwide (CSW), sebuah LSM yang berkantor pusat di London. Diskusi itu, yang difasilitasi oleh Ma'arif Institute bersama Bidang Marturia-PGI, dihadiri oleh banyak LSM yang selama ini bekerja untuk kebebasan beragama, seperti Wahid Institute, Yayasan Denny JA untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi, perwakilan Ahmadiyah, maupun dari Kementerian Agama.
"Kecenderungan yang ada memang memprihatinkan," ujar Benedict pada satuharapan.com. "Saya pertamakali datang ke Indonesia tahun 2009. Saat itu memang sudah banyak kasus kebebasan beragama. Tetapi masyarakat masih punya optimisme pemerintahan SBY akan melakukan sesuatu. Sekarang ini, bukan saja kasus-kasus intoleran makin intensif dan massif, tetapi juga makin banyak orang yang pesimis terhadap pemerintahan SBY mampu melakukan sesuatu."
Hampir setiap tahun sejak 2009, sebagai orang yang memimpin bagian wilayah Asia Timur di CSW, Benedict datang ke Indonesia untuk mendokumentasikan kasus-kasus kebebasan beragama. Tahun ini ia memutuskan untuk tinggal selama 3 minggu, dan berkeliling ke daerah-daerah seperti Jawa Barat, Aceh, Sampang, dstnya guna menghasilkan in depth report. Dan hasil penelitiannya sungguh membuat ia khawatir.
"Saya juga mendengar makin banyak orang menyebut istilah 'Pakistanisasi' Indonesia," katanya. "Tentu situasi di Indonesia tidak seburuk di Pakistan. Tapi banyak yang khawatir, situasinya bisa memburuk dan berubah jadi Pakistan."
Pengamatan Benedict banyak dibenarkan oleh peserta diskusi. "Memang jika dilihat polanya, agaknya apa yang terjadi di Pakistan, khususnya terhadap Ahmadiyah, akan diterapkan di sini," ujar perwakilan Ahmadiyah yang hadir dalam diskusi terbatas itu. "Pemerintah kita sama sekali abai terhadap kasus-kasus intoleran yang terjadi, sehingga bisa saja suatu waktu situasi di sini menjadi seperti di Pakistan."
Menurut Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno, SJ, Guru Besar STF Driyarkara yang juga hadir dalam diskusi, jika kecenderungan sekarang tidak dihentikan, maka hukum rimbalah yang akan mengatur hidup kita. "Siapa yang berotot dialah yang menentukan," katanya.
Bagi Romo Magnis, masalahnya kembali pada karakter SBY sebagai Presiden. "Ia harus lebih berani dan lebih tegas dalam menjamin kebebasan beragama," katanya. "Tapi sampai sekarang kita tidak pernah melihat apa yang dia lakukan. Sama sekali tidak tegas!"
Berjaya di Kota Jakarta Pusat, Paduan Suara SDK 1 PENABUR Be...
Jakarta, Satuharapan.com, Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya Muhammad Mashabi Jakarta Pusat menjadi ...