Investor Cemaskan Gerakan Jihad Konstitusi Muhammadiyah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Muhammadiyah sejak lama dikenal sebagai organisasi umat Islam terbesar kedua di Indonesia yang terutama dikagumi karena pelayanannya di bidang pendidikan dan kesehatan. Organisasi ini mengelola ribuan sekolah dan rumah sakit di seantero Nusantara. Juga panti-panti asuhan. Anggotanya diklaim mencapai 30 juta orang saat ini.
Namun, seiring dengan pengaruh politiknya yang meluas, beberapa tahun terakhir organisasi ini memberi kesan berubah. Yang lebih menonjol adalah aktivisme hukumnya. Hal ini oleh kalangan investor dianggap mencemaskan karena dapat menghambat program reformasi ekonomi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Perubahan ini terlihat dari langkah Muhammadiyah belakangan ini yang mencanangkan strategi baru yang dinamai Jihad Konstitusi. Strategi ini dimaksudkan untuk membalikkan arah angin reformasi yang sudah berlangsung dalam satu dekade terakhir. Dalam berbagai pernyataan, Muhammadiyah menilai reformasi ekonomi terlalu banyak memberikan konsesi penguasaan sumber daya di Indonesia kepada perusahaan swasta, terutama asing.
Kampanye yang dicanangkan Muhammadiyah itu, oleh media luar negeri dipandang telah membuat investor berpikir dua kali untuk berkomitmen pada proyek-proyek infrastruktur multi-miliar dolar, yang jadi prioritas utama Presiden Joko Widodo. Sebaliknya, Muhammadiyah berpendapat bahwa program privatisasi yang dijalankan Jokowi bertentangan dengan UUD 1945.
"Kami membela konstitusi. Kami membela bangsa," kata Syaiful Bakhri, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang dikutip oleh Christian Science Monitor, yang menurunkan laporannya Rabu (1/4) dengan judul Muslim NGO Lawsuit Threaten Indonesia President's Agenda.
"Muhammadiyah mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kepentingan rakyat terlebih dahulu sebelum membuat undang-undang baru tentang sumber daya kami," tutur dia.
Taringnya Semakin Tajam?
Menurut Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel yang juga ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah, Jawa Timur, Biyanto, sejak November 2012 hingga akhir Februari 2015, Muhammadiyah telah empat kali melakukan judicial review terhadap perundang-undangan yang terus memicu kontroversi. Empat UU yang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Biyanto dalam tulisannya untuk jawapost.com, berjudul Jihad Konstitusi Ala Muhammadiyah, melaporkan bahwa seluruh jihad konstitusi Muhammadiyah melalui judicial review tersebut dikabulkan MK. Kini Muhammadiyah pun bersiap mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.
"Prestasi Muhammadiyah saat melakukan judicial review terhadap sejumlah UU jelas sangat membanggakan," jelas dia.
Melalui tim pakar dan ahli hukumnya, kata Biyanto, Muhammadiyah telah mengkaji beberapa UU yang dianggap tidak prorakyat. Usaha itu kemudian ditindaklanjuti dengan mengajak beberapa tokoh nasional serta ormas untuk mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
"Meski kedudukan hukum (legal standing) dan kompetensinya sebagai pemohon judicial review UU Migas sempat dipertanyakan, Muhammadiyah ternyata sukses memenangi gugatan di MK," kata Biyanto.
Menghambat Program Jokowi
Para kritikus melihat langkah hukum yang diambil oleh Muhammadiyah akan menghambat rencana pembangunan yang dicanangkan Jokowi. Alih-alih melindungi masyarakat miskin, upaya hukum tersebut ditengarai justru akan memperkuat cengkeraman konglomerat domestik dalam perekonomian yang menginginkan tiadanya kompetisi dari investor asing.
Dalam laporannya yang terbaru, Organization for Economic Cooperation Development (OECD) menyimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan proteksionistis di Indonesia telah menghambat keterbukaan terhadap perdagangan dan investasi asing serta menciptakan ketidakpastian pembangunan.
"Ketidakpastian hukum sangat kuat di negara ini," kata Arian Ardie, analis risiko dan mantan gubernur American Chamber of Commerce di Jakarta, kepada Christian Science Moitor. Menurut dia, hal ini membuat berurusan di Indonesia jauh lebih sulit.
Lebih jauh, langkah Muhammadiyah mengajukan judicial review terhadap UU Penanaman Modal Asing menjadikan organisasi itu diperbandingkan dengan upaya Presiden Joko Widodo yang berkali-kali memanfaatkan perjalanan dinas luar negerinya untuk membujuk investor asing datang, termasuk ketika ke Jepang dan terakhir ke Tiongkok. Sebagian besar upaya menarik investasi tersebut diarahkan untuk mendukung perbaikan yang sangat dibutuhkan di bidang infrastruktur. Ke dalamnya termasuk kontrak-kontrak untuk membangun dan mengoperasikan pelabuhan, pembangkit listrik, dan fasilitas pengolahan air di Indonesia sebagai negara terpadat keempat di dunia.
Muhammadiyah berkilah bahwa menyerahkan kontrol atas sektor-sektor strategis ekonomi kepada investor swasta maupun asing adalah inkonstitusional. Argumen hukumnya berfokus pada ketentuan konstitusi yang mengatakan sumber daya "berada di bawah kekuasaan negara dan dipergunakan untuk manfaat terbesar dari rakyat".
Namun, pemerintah sendiri menganggap tidak mengabaikan kepentingan nasional dalam upaya menarik investasi tersebut. lagi pula, bagi pemerintahan Jokowi peranan investasi sangat penting untuk menggerakkan perekonomian dan membangun infrastruktur yang sudah tertinggal, di tengah melemahnya ekspor akibat harga komoditas di pasar dunia yang merosot. Sejak menjabat, Jokowi telah berusaha menghilangkan hambatan investasi yang selama ini dikeluhkan oleh pengusaha, melalui program Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal (PTSP-PM) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kepala BKPM, Franky Sibarani, menegaskan bagaimana pun investasi asing masih dibutuhkan untuk membangun proyek infrastruktur karena anggaran yang diperlukan sangat besar. Berbicara ketika mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Tiongkok, Franky menekankan kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur lima tahun ke depan sangat besar.
"Pemerintah tidak mampu membiayai sendiri, sehingga masih membutuhkan pembiayaan asing untuk pelaksanaannya. Tapi komponen lokal dan keterlibatan BUMN tetap dikedepankan," kata Franky dalam keterangan pers tertulisnya.
Kevin Evans, analis dan konsultan yang berbasis di Jakarta, berpendapat kampanye hukum yang dilakukan Muhammadiyah merupakan perpanjangan alamiah dari akar populis organisasi itu. Kampaye itu dimaksudkan membantu mereka agar tetap relevan secara politik. "Mereka memicu debat kebijakan publik," kata dia.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...