Loading...
MEDIA
Penulis: Melki Pangaribuan 13:35 WIB | Rabu, 08 Juni 2016

IPI Desak Pemerintah Lindungi Wartawan dari Intimidasi

IPI Desak Pemerintah Lindungi Wartawan dari Intimidasi
Protes Front Pembela Islam kepada reporter Febriana Firdaus. (Foto-foto: freemedia.at)
IPI Desak Pemerintah Lindungi Wartawan dari Intimidasi
Screenshoot intimidasi yang dialami Febriana Firdaus di media sosial. "Awas!! Gentayangan Jilbab-Jilbab Palsu, ternyata antek PKI, Pencinta LGBT! Jangan tertipu Jilbab!!"

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - The International Press Institute (IPI) mendesak Pemerintah Indonesia untuk menjamin keamanan dari seorang wartawan yang meliput demonstrasi terkait dengan pembantaian anti-komunis 1965 di Indonesia, di mana dia diancam dengan kekerasan dan terpaksa bersembunyi.

Pada hari Kamis (2/6), reporter rappler.com, Febriana Firdaus berusaha untuk meliput pertemuan hari kedua Simposium Nasional "Mengamankan Pancasila dari Kebangkitan PKI & Ideologi Lain" di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Lebih dari 300 anggota kelompok garis keras Islam dan jenderal pensiunan tentara menentang upaya yang didukung pemerintah untuk secara resmi mengakui pembantaian.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa setidaknya 500.000 orang tewas yang dipandang oleh dunia internasional sebagai salah satu kekejaman massal terburuk abad ke-20.

Menurut laporan media lokal, orang-orang mulai menargetkan Febriana karena ia mewawancarai anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Panitia pertemuan dan pendukung Front Pembela Islam (FPI) mengelilingi Febriana meneriakinya dan mengancamnya.

"Saya punya foto Anda," satu orang mengatakan kepadanya. "Jika Anda mempublikasikan cerita, Anda akan ditangkap."

Massa kemudian memanas dan meminta penyelenggara melarang Febriana berada di tempat pertemuan tersebut.

Setelah pertemuan itu, pendukung FPI dan kelompok Islam garis keras lainnya mengunakan Internet, mengirim ancaman kekerasan kepada Febriana di media sosial sebagai bagian dari kampanye intimidasi terhadap dirinya yang berlangsung selama lebih dari 24 jam.

Mereka menuduh Febriana sebagai "Islam palsu" dan pendukung komunis. Istilah yang terakhir, di Indonesia, sering dikonotasikan sebagai "pengkhianat".

Mengantisipasi serangan tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) cabang Jakarta memprakarsai protokol keamanan dan mengamankan Febriana ke lokasi yang aman.

Menurut sumber yang dekat dengan IPI, Febriana masih berada di sebuah tempat yang dirahasiakan, dia takut hidupnya dan kehidupan anggota keluarganya terancam.

Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim mengutuk serangan terhadap Febriana dan keputusan untuk mengusir dia dari pertemuan itu.  Dia menunjukkan bahwa tindakan tersebut "melanggar UU Pers" dan memastikan bahwa wartawan lainnya dapat menghadapi masalah yang sama.

"Tindakan tersebut mengancam profesi jurnalistik secara umum," katanya sebagaimana dikutip freemedia.at, hari Rabu (8/6).

Ketegangan terkait dengan pembantaian 1965 baru-baru ini meningkat setelah organisasi masyarakat sipil Indonesia memimpin upaya untuk mengakui pembunuhan, yang selama menjadi sesuatu yang tabu di Indonesia. Para pegiat mengatakan bahwa banyak jenderal pensiunan tentara, politisi dan pemimpin agama terkait pembersihan itu tetap berada di antara elite negara itu.

Pada tanggal 1-2 Juni Simposium Nasional "Mengamankan Pancasila dari Kebangkitan PKI & Ideologi Lain" di Balai Kartini merupakan tanggapan terhadap pembicaraan rekonsiliasi yang diadakan sebelumnya pada tanggal 18-19 April - Simposium Nasional yang mengangkat tema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” - yang didukung oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, berbagai organisasi masyarakat sipil dan pemerintah - menandai pertama kalinya bahwa Indonesia pernah mengadakan diskusi publik terbuka atas tragedi itu.

"Kebebasan media dan arus informasi yang bebas sangat penting untuk memastikan debat terbuka dan jujur tentang salah satu bab gelap di Indonesia," kata Direktur Komunikasi dan Advokasi IPI Steven M. Ellis.

"Kami mendesak pemerintah untuk serius terhadap semua upaya yang mengancam atau mengintimidasi wartawan, baik online atau offline. Tidak ada wartawan yang harus takut untuk hidupnya hanya karena melakukan pekerjaannya," kata dia menambahkan.

Menurut Death Watch IPI, setidaknya 19 wartawan telah kehilangan nyawa mereka sehubungan dengan pekerjaan mereka di Indonesia sejak tahun 1997.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home