IPPHOS: Kantor Berita Foto Independen Pertama Indonesia yang Terpinggirkan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kantor Berita Foto Independen pertama Indonesia, IPPHOS (Indonesia Press Photo Service), teronggok tidak berdaya di tepian sejarah dan era pembangunan Indonesia. Padahal sumbangan IPPHOS teramat besar kepada bangsa dan negara Indonesia. Hal ini menjadi ide penerbitan buku ‘IPPHOS, Indonesia Press Photo Service: Remastered Edition’ yang ditulis Yudhi Soerjoatmodjo. Ini sekaligus menjadi pondasi tema pameran foto.
“Identitas kemerdekaan kita sejatinya memperoleh wujud dan rupanya melalui foto-foto yang diabadikan dengan semangat patriotistik dan profesionalisme yang tinggi oleh para pewarta IPPHOS. Bahkan sejak janin kemerdekaan dikandung badan cikal bakal Republik Indonesia.” Kata kurator Oscar Motuloh.
Alex Impurung (1907-1984) dan Frans Soemarto (1913-1971), duo Mendur bersaudara ini berjuang dengan lensa dan jiwa raga mencatatkan dengan tegas garis sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka berdua yang tercatat hadir mengabadikan peristiwa bersejarah saat Bung Karno, disaksikan Bung Hatta dan segenap hadirin, membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
“Coba bayangkan seandainya tidak ada Frans Mendur di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945? Apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi?” tanya peneliti utama LIPI Asvi Warman Adam dalam pengantar buku foto ‘Identitas untuk Kebangkitan: Antara-IPPHOS dan Cas Oorthuys 1945-1950’.
IPPHOS pada 2 Oktober 1946 didirikan mereka berdua bareng Alex Mamusung, Oscar Ganda, dan Umbas bersaudara, yaitu Justus dan Frans ‘Nyong’.
IPPHOS meregang nyawa sepanjang pemerintahan Soeharto. Karena semangat rezim Orde Baru yang mengusung de-Soekarnoisasi.
“IPPHOS dan fotografi jurnalistik kita secara implisit, perlahan tapi pasti, tergeser oleh kekuasaan ke peran marjinal di garis periferal tempat sensor dan intimidasi bermukim. Profesionalismenya terbelenggu. Dia dibutuhkan, namun seolah tak perlu ditumbuhkembangkan. Dia pasti bermanfaat namun tak perlu diapresiasi dengan seolah sungguh-sungguh. Para pencipta sejarah dari balik kamera hanyalah kuli citra yang tak perlu ditingkatkan martabatnya. Sakratul maut perlahan tapi pasti datang menghampiri. IPPHOS harus rela terbuang dari kantor legendaris mereka di Jalan Hayam Wuruk 30. Sejak itu fotografi jurnalistik IPPHOS perlahan buram lalu meredup cahayanya.” kata Oscar Motuloh.
Seluruh temuan dan segenap kisah IPPHOS ini dipamerkan dalam pameran foto pada Jum’at (6/12) hingga Senin (13/1) di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Jakarta.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...