Iran Akan Ubah Doktrin Nuklir dan Membuat Bom Jika Keberadaannya Terancam
Penasihat utama Khamenei mengatakan negaranya ‘tidak punya pilihan’ dalam situasi seperti ini, dan memperingatkan bahwa kebijakan pencegahan akan berubah jika Israel menyerang fasilitas nuklir.
TEHERAN, SATUHARAPAN.COM-Iran harus mengubah doktrin nuklirnya jika keberadaannya terancam oleh Israel, kata penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Sayyid Kamal Kharrazi, yang meningkatkan kekhawatiran baru mengenai senjata nuklir Iran.
“Kami tidak punya keputusan untuk membuat bom nuklir, tetapi jika keberadaan Iran terancam, tidak ada pilihan selain mengubah doktrin militer kami,” kata Kharrazi, seperti dilansir Iran's Student News Network, hari Kamis (9/5), seraya menambahkan bahwa Teheran sudah memberi isyarat mereka mempunyai potensi untuk membuat senjata semacam itu.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, melarang pengembangan senjata nuklir dalam sebuah fatwa pada awal tahun 2000-an, dan mengulangi pendiriannya pada tahun 2019 dengan mengatakan: “Membuat dan menimbun bom nuklir adalah salah dan menggunakannya adalah haram (dilarang secara agama)… Meskipun kita memiliki teknologi nuklir, Iran dengan tegas menghindarinya.”
Namun, menteri intelijen Iran saat itu mengatakan pada tahun 2021 bahwa tekanan Barat dapat mendorong Teheran untuk mengupayakan membuat senjata nuklir.
“Jika terjadi serangan terhadap fasilitas nuklir kami oleh rezim Zionis (Israel), pencegahan kami akan berubah,” kata Kharrazi, yang merupakan mantan menteri luar negeri, menambahkan dalam pernyataan yang diterbitkan Kamis.
Bulan lalu Kementerian Luar Negeri Iran mengklarifikasi bahwa larangan tersebut masih berlaku setelah seorang komandan senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran memperingatkan bahwa Teheran mungkin mengubah kebijakan nuklirnya jika mendapat tekanan dari ancaman Israel.
Menyusul meningkatnya ketegangan dengan Israel, komandan IRGC yang bertanggung jawab atas keamanan nuklir, Ahmad Haghtalab, mengatakan bahwa ancaman Israel dapat mendorong Teheran untuk “meninjau kembali doktrin nuklirnya dan menyimpang dari pertimbangan sebelumnya.”
Pada bulan April, Iran dan Israel mencapai tingkat ketegangan tertinggi, dengan Teheran secara langsung meluncurkan sekitar 300 rudal dan drone terhadap Israel sebagai pembalasan atas dugaan serangan mematikan Israel terhadap apa yang disebutnya sebagai bangunan di kompleks kedutaan besarnya di Damaskus yang menewaskan dua jenderal senior IRGC dan beberapa perwira lainnya.
Israel, dengan bantuan Amerika Serikat dan sekutu lainnya, hampir seluruhnya mencegat serangan Iran, meskipun seorang gadis Badui berusia tujuh tahun di selatan terluka parah dalam serangan itu dan sejumlah kecil kerusakan terjadi di pangkalan udara Nevatim di luar Bersyeba.
Israel, sebagai tanggapan, dilaporkan telah menyerang pangkalan udara dekat Isfahan di Iran tengah, merusak sistem pertahanan radar. Iran meremehkan serangan itu, dengan mengatakan tidak ada kaitan dengan Israel, sehingga menghilangkan kekhawatiran akan perang regional yang lebih luas.
Menurut The New York Times, sistem radar menjaga fasilitas nuklir rahasia Natanz di dekatnya, yang diduga tersembunyi jauh di bawah tanah. IAEA dan pejabat Iran melaporkan “tidak ada kerusakan” pada situs nuklir di provinsi tersebut.
Pernyataan Kharrazi muncul ketika kepala pengawas atom PBB, Rafael Grossi, pada hari Selasa (7/5) mengecam kerja sama yang “sama sekali tidak memuaskan” dari Teheran setelah kembali dari Iran di mana ia mengadakan pembicaraan mengenai program nuklirnya.
Kunjungan Grossi terjadi pada saat ketegangan regional meningkat dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengkritik Iran karena kurangnya kerja sama dalam inspeksi dan masalah-masalah luar biasa lainnya.
Iran menangguhkan kepatuhan terhadap perjanjian penting tahun 2015 yang menetapkan pembatasan kegiatan nuklir setelah Amerika Serikat, di bawah mantan presiden Donald Trump, secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut pada tahun 2018 dan menerapkan kembali sanksi besar-besaran.
Ketegangan antara Iran dan IAEA telah berulang kali berkobar sejak perjanjian itu gagal, dan upaya-upaya yang dimediasi oleh Uni Eropa sejauh ini gagal untuk membawa Washington kembali setuju dan membuat Teheran kembali mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut.
Badan ini telah berulang kali mengkritik Iran karena kurangnya kerja sama dalam berbagai isu termasuk perluasan pekerjaan nuklirnya, larangan pemeriksa, dan penonaktifan perangkat pemantauan badan tersebut di fasilitas nuklirnya.
Dalam laporan yang dipresentasikan pada pertemuan Dewan Gubernur terakhir pada bulan Maret, IAEA mengatakan bahwa perkiraan persediaan uranium yang diperkaya Iran telah mencapai 27 kali lipat dari batas yang ditetapkan dalam perjanjian tahun 2015. (AP/ ToI)
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...