Iran Tolak UU Baru tentang Jilbab
TEHERAN, SATUHARAPAN.COM – Wali Dewan Negara Iran menolak rancangan undang-undang yang baru mengenai aturan bagi perempuan mengenakan jilbab.
Sebuah rancangan undang-undang yang akan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada polisi Iran dan relawan milisi untuk menegakkan aturan bahwa perempuan wajib mengenakan jilbab telah dinyatakan inkonstitusional, kata media pemerintah melaporkan hari Sabtu (3/1).
Di bawah hukum Islam yang berlaku di Iran sejak revolusi tahun 1979, perempuan wajib mengenakan pakaian longgar yang dikenal sebagai jilbab, yang menutupi kepala dan leher dan rambut mereka.
Tapi sekarang banyak yang hanya memakai syal tipis penutup kepala, celana yang ketat dan pakaian modis, bukannya jenis chador, pakaian hitam panjang tradisional Iran yang menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki.
Hal itu menyebabkan anggota parlemen dan pemimpin agama menuding aturan itu tidak ditegakkan oleh polisi moral yang tugasnya memastikan aturan berpakaian secara Islami dipenuhi di tempat umum.
Rancangan Undang-undang itu, yang disebut "Rencana tentang Perlindungan dan Promosi Kebajikan dari Keburukan" ditolak oleh Wali Dewan Negara yang berpengaruh, yaitu kelompok beranggota 12 orang yang membahas undang-undang.
Kantor berita resmi Iran, IRNA, mengutip seorang juru bicara dewan, mengatakan rancanga berisi 24 point itu terdapat 14 kekurangan dan "bertentangan dengan konstitusi dan tidak disetujui". Namun laporan itu tidak menjelaskan lebih rinci.
Namun, keputusan dewan bukanlah akhir dari proses hukum, di mana anggota parlemen bisa memberikan wewenang pada anggota Basij untuk mengingatkan perempuan yang mereka anggap berpakaian dengan tidak benar. Basij adalah relawan keagamaan yang dibentuk oleh para pemimpin revolusioner negara itu dan memiliki kekuasaan menegur warga tentang cara berpakaian.
Dewan telah mengirimkan draft hukum itu kembali ke parlemen untuk diubah, kata IRNA.
Mengenakan jilbab adalah masalah emosional di republik Islam itu. Para pendukung mengatakan bahwa hal itu adalah bagian penting dari budaya Islam bagi perempuan, tetapi pihak yang menolak berpendapat bahwa hal itu merupakan persyaratan hukum yang tidak jelas.
UU yang disetujui parlemen pada bulan Desember juga mengatur tanggung jawab majikan untuk memastikan jilbab dikenakan oleh para pekerja, dan perusahaan menghadapi denda untuk pelanggaran yang dilakukan.
Presiden Iran, Hassan Rouhani, berada di bawah tekanan dari anggota parlemen garis keras untuk mengupayakan polisi tegas dalam menegakkan aturan mengenakan jilbab. Dia berusaha menjauhkan diri dari masalah hukum yang direncanakan dalam sebuah pidato pada 25 Oktober.
"Kita tidak boleh terlalu terfokus pada satu masalah, seperti jilbab yang buruk, untuk mencegah keburukan," katanya, mengacu pada tugas Islam untuk mempromosikan kebajikan. (AFP)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...