Islam Post Truth dan Islam Sosial
SATUHARAPAN.COM - Ketika Orde Baru, kita mengenal antara Islam formalis dan Islam substansial, Islam kultural dan Islam politik, Islam tekstual dan kontekstual. Islam formalis adalah cara orang Islam beribadah dengan memprioritaskan semua hal yang terkait dengan ritual, atribut, dan penampilan diri. Sebaliknya Islam subtansial adalah orang Islam yang menjalankan ibadahnya dengan mengedepankan isi daripada kulitnya.
Islam kultural adalah orang Islam yang mengedepankan ajaran Islam universal dan rahmatul lil ‘alamin di semua aspek kehidupan tanpa terobsesi dengan kekuasaan, siapa yang berkuasa, dan toleran terhadap kebudayaan setempat (lokal). Sebaliknya Islam politik adalah orang Islam yang terobsesi dengan kekuasaan karena menyakini bahwa Islam adalah sistem hidup menyeluruh (kaffah) di semua dimensi kehidupan, termasuk politik kekuasaan.
Islam tekstual adalah orang Islam yang dengan serampangan mengutip ayat atau surat untuk memukul pihak lawan demi kebenarannya. Islam kontekstual adalah orang Islam yang berpedoman pada prinsip universal Islam. Prinsip universal ini adalah sari pati dari refleksi konteks zaman dimana ayat/surat diwahyukan demi lalu relevan di jaman lain.
Era Reformasi, Islam berkembang lagi dengan adanya Islam Liberal, Islam bergaya Ikhwanul Muslimin, Salafi, Wahabi, HTI (dilarang), Negara Islam, yang mulai bergerilya terus menyusup ke segala nadi umat Islam Indonesia. Beberapa memang sudah dilarang dan yang lain masih bebas dan menyebarkan pengaruhnya.
Karakter Islam Post Truth
Di era post truth, berbagai informasi tentang Islam menghujani orang Islam yang galau dan haus akan pencarian kebenaran. Sumber buku teks yang serius dikalahkan dengan sumber dari internet yang serba cepat (instant), mudah dipaham, dan simple (hitam-putih). Era post truth adalah zaman kematian kepakaran dan narasi besar ilmu pengetahuan (Lyotard,1979). Adanya krisis legitimasi/otoritas bagi seseorang yang tengah lama bergumul di bidangnya. Teks-teks suci didemokrasikan, sehingga siapapun boleh menafsirkannya, tanpa ahli dan metode yang rumit.
Era post truth, penguasa tidak lagi kuat mengendalikan cara beragama warganya. Penguasa tidak lagi mengkooptasi para elit agamanya. Elit agama mempunyai kebebasan atas otoritasnya sendiri. Agama Islam sendiri menjadi pasar yang menggiurkan bagi siapapun juga terutama bagi elit agamawan. Siapapun yang bisa mengemas karakter keislamannya dan membuat merek, maka dia bisa mengambil keuntungan yang berlimpah dari konsumennya.
Beberapa karakter Islam post truth di antaranya: pertama, munculnya orang Islam berkarakter cenderung formalis-politis dari krisis identitas yang tengah menderanya. Di sini lahir politik identitas. Orang Islam harus menampilkan indikator status keislamannya. Kekuasaan menjadi sangat penting, karena semua orang harus sesuai dengan cara dan identitas keislamannya. Jika berbeda, maka dianggap sebagai ancaman dan bukan Islam.
Kedua, orang Islam itu terobsesi dengan Islam doktrin dan ritual. Semuanya penting diangkat ke dimensi politik dan penting dipertontonkan di publik dengan dalih syiar Islam. Selain itu, dengan pertunjukkan identitas Islam, Islam menjadi bagian dari pop culture yang dikomodifikasi demi sirkulasi pasar umat Islam.
Ketiga, orang Islam jenis ini mempunyai kecenderungan tidak berbasis pesantren (misalnya NU) atau tidak mempunyai dasar lama di pesantren. Kalaupun mempunyai unsur pesantren (kuat budaya Jawa/Nusantara) tentunya elit beragamanya saja atau pimpinannya saja yang tidak lagi memperoleh keuntungan dari pesantren-pesantren lama.
Selebihnya, Islam jenis ini mempunyai dasar ajaran impor kebudayaan dan cara-cara beragama dengan doktrin Islam dari Timur Tengah seperti Arab Saudi, Sudan, Mesir, dan sekitarnya. Penerimaan yang tanpa metode khusus ini disebabkan karena keterbatasan keberagamaan seseorang. Seseorang sulit membedakan antara Islam sebagai suatu prinsip hidup dan nilai yang tetap dengan kebudayaan yang selalu dinamis, bertransformasi, berganti.
Islam Sosial
Yang mengkhawatirkan di era post truth adalah orang yang mengaku Islam tidak memprioritaskan pengorbanan, tapi terosesi pada politik identitas. Ajaran utama beragama di manapun selalu mengutamakan pengorbanan, khsususnya di dimensi sosial. Misalnya Muhammadiyah yang fokus di pendidikan, anak yatim dan rumah sakit.
Islam sosial adalah sejauh mana kita berkorban demi kemanusiaan. Jadi bukan apa yang kita dapatkan dari Islam atau memperkaya diri dengan menunggangi Islam dengan dalih dakwah atau dalil apapun itu.
Islam sosial adalah menghidupi Islam bukan mencari makan di/dengan Islam. Kita menjadi tidak penting: status kita, cara berpakaian kita, kekayaan kita, dan penampilan fisik kita. Oleh sebab itu, Islam rahmatul lil’alamin justru mengutamakan dimensi pengorbanan dengan mengedepankan sikap jujur, adil, hormat menghormati, membantu orang yang kesulitan, dan sabar dengan sebaiknya menyembunyikan ritual dan doktrin kita.
Sebelum copy-paste al Quran, seseorang justru harus belajar terlebih dahulu praktek al Quran yang dilakukan Nabi Muhammad. Misalnya menjenguk orang sakit yang telah menghinanya dan memberi makan kepada pengemis kelaparan sampai titik dimana beliau masih cukup bisa menahan perutnya dengan tali, dan sabar menghadapi semua cobaan hidup tanpa frustasi dan bertindak kekerasan.
Cara berislam sosial menjadi urgensi bangsa ini, karena setiap umat Islam akan berlomba lomba berkorban demi kemanusiaan melampaui ras, agama, dan etnisnya tanpa memikirkan keuntungan yang diperolehnya. Berkorban demi yang membutuhkan adalah hal yang prinsipil dalam ajaran Islam. Dengan berkorban, maka dirinya menjadi tidak penting lagi. Titik inilah manusia mengenal dirinya. Dirinya yang nol/nihil. Titik ini Tuhan hadir.
Penulis adalah pengajar tetap UPN Veteran Jakarta, Kandidat Doktor Charles Darwin University, Anggota Kehormatan Jaringan Intelektual Berkemajuan.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...