Partai Politik dan Gereja
SATUHARAPAN.COM - Perhatian saya terpatok pada dua berita yang sudah viral yang saya terima melalui WA group yang saya ikuti. Pertama, video tentang sambutan Menteri Sri Mulyani yang menegaskan tekadnya untuk membersihkan kementeriannya dari oknum pegawai atau pejabat yang bermental diskriminatif, eksklusifis, dan doyan menebarkan ujaran kebencian yang menjadi racun atau virus yang membahayakan persatuan bangsa.
Berita kedua berisi teguran Presiden Jokowi tentang lembaga pendidikan kita yang belum mampu merespons berbagai perubahan dahsyat yang sedang terjadi. Bukannya menciptakan generasi pembelajar yang cerdas, kreatif, dan inovatif, untuk menyongsong masa depan, institusi pendidikan kita justru menjadi sarang konservatisme dan fundamentalisme yang menciptakan orang 'saleh' berwawasan sempit, yang visinya justru mundur ribuan tahun ke belakang.
Memang, sudah menjadi rahasia umum betapa kedua institusi, baik di kementerian dan BUMN, serta institusi pendidikan kita sudah terpapar virus konservatisme-fundamentalisme. Meski demikian, kita jangan pernah lupakan institusi ketiga yang sangat penting yang juga harus dibidik dalam rangka mencegah berkembangnya virus konservatisme-fundamentalisme.
Institusi ketiga ini sangat strategis dalam rangka memperkuat komitmen kita pada demokrasi dan konstitusi. Institusi ketiga itu adalah partai politik.
Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die menegaskan bahwa partai politik adalah pengawal demokrasi dan konstitusi. Partai politik adalah saringan pertama terhadap tokoh-tokoh antidemokrasi. Bila partai politik gagal menjalankan fungsinya, demokrasi terancam punah.
Kita tahu bahwa sistem politik di negara kita memberikan peran yang sangat strategis bagi partai politik. Dalam sistem politik kita, partai politik seolah menjadi jantung penggerak kehidupan bangsa ini.
Penetapan pemimpin atau pejabat berbagai institusi negara dari tingkat terendah sampai tertinggi, pembuatan dan keputusan berbagai peraturan dari tingkat lokal sampai undang-undang di tingkat nasional, penetapan anggaran, dan sebagainya, dilakukan oleh kader-kader partai politik baik melalui DPRD atau DPR. Dengan demikian posisi partai politik sangat penting dan sangat strategis dalam menentukan maju-mundurnya bangsa kita.
Partai politik seperti lokomotif yang menarik rangkaian panjang gerbong kereta api. Bila lokomotif berjalan salah arah, semua gerbong pun akan ikut berjalan pada arah yang salah, yang pada akhirnya akan mencelakakan semuanya. Sebaliknya, bila lokomotif berada pada jalur dan tujuan yang benar, maka semua gerbong beserta penumpangnya akan tiba dengan selamat sampai di tujuan.
Ironisnya, partai-partai politik kita justru sangat buruk penampilan dan kualitasnya. Transparency International Indonesia menempatkan partai politik sebagai salah satu institusi terkorup di Indonesia. Kinerja banyak oknum utusan partai politik di DPR lebih beraroma transaksional, sehingga DPR belum mampu bekerja maksimal sebagai pembela kepentingan rakyat.
Proses pengkaderan partai politik tersendat, sehingga kebanyakan pejabat yang berintegritas dan berprestasi justru bukan merupakan kader tulen partai politik. Partai politik pun terjebak dalam pertarungan merebut kekuasaan sehingga melupakan fungsi utamanya sebagai penjaga demokrasi dan konstitusi bangsa.
Akibatnya, banyak peraturan daerah sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi bangsa. Bukannya menciptakan hukum dan peraturan yang dijiwai prinsip keadilan dan kesetaraan bagi setiap warga negara, partai politik justru mengangkangi demokrasi dan konstitusi bangsa dengan memberlakukan politisasi agama.
Kesetiaan pada konstitusi berganti dengan kepatuhan pada sektarianisme kaum konstituen. Undang-undang atau perda agamis pun diciptakan meski sangat rasis, rasialis, misoginis dan berpotensi memecah-belah kesatuan bangsa. Para petinggi partai politik lupa bahwa dengan membunuh demokrasi dari dalam sesungguhnya mereka sedang membunuh dirinya sendiri.
Gereja Terpanggil
Sesungguhnya bila kita mau melakukan transformasi bagi kehidupan bangsa yang lebih baik maka partai politik harus menjadi salah satu sasaran utama yang perlu dikontrol sekaligus dibenahi visi dan komitmen kebangsaannya. Mengingat pentingnya peran partai politik dalam memperkuat demokrasi dan konstitusi yang menjadi pilar peradaban bangsa kita, maka dialog yang terbuka dan bersifat transformatif dengan para petinggi partai politik demi memperbaiki komitmen kebangsaan dan kinerja partai-partai politik, kita harus segera dilakukan.
Sesungguhnya institusi agama, termasuk gereja, terpanggil untuk mengontrol komitmen dan kinerja partai politik agar agama tidak diturunkan derajatnya sebagai instrumen politik kekuasaan. Kegagalan kita dalam mengontrol kinerja partai politik membuka peluang baginya untuk menyalahgunakan kekuasaan dan kesempatan yang dimilikinya. Inilah penyebab utama lahirnya berbagai peraturan daerah yang bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi.
Dalam konteks inilah institusi agama, termasuk gereja di daerah, bisa menyuarakan agar politisi dan partai politik tetap berfungsi sebagai penyangga demokrasi dan konstitusi. Gereja perlu memelopori terjadinya dialog-dialog yang konstruktif lintas agama untuk memperkuat peran agama dalam mengawal dan ikut mengontrol partai politik agar sebagai aset bangsa partai politik mampu menjalankan tugas utamanya sebagai pengawal demokrasi dan konstitusi.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...