Loading...
MEDIA
Penulis: Sabar Subekti 10:17 WIB | Sabtu, 26 Oktober 2024

Israel Tuduh Enam Wartawan Al Jazeera di Gaza sebagai Militan Palestina

Teknisi siaran Al Jazeera, Mohammad Salameh, bekerja di unit Ruang Kontrol Utama di dalam kantor jaringan tersebut di kota Ramallah, Tepi Barat, pada 5 Mei 2024. (Foto: dok. AP/Nasser Nasser)

RAMALLAH, SATUHARAPAN.COM-Militer Israel pada hari Rabu (23/10) menuduh enam wartawan Al Jazeera yang meliput perang di Gaza juga merupakan pejuang bayaran untuk kelompok militan Palestina. Al Jazeera menolak klaim tersebut.

Israel mengutip dokumen yang konon ditemukannya di Gaza, dan informasi intelijen lain yang dikumpulkannya, dalam membuat tuduhan terhadap para wartawan tersebut, yang semuanya adalah warga Palestina. Dikatakan bahwa empat orang berafiliasi atau pernah berafiliasi dengan Hamas, dan dua orang berafiliasi dengan Jihad Islam Palestina.

Al Jazeera mengatakan tuduhan tersebut "dibuat-buat" dan "bagian dari pola permusuhan yang lebih luas" terhadap jaringan pan Arab tersebut. Dikatakan bahwa klaim tersebut merupakan "upaya terang-terangan untuk membungkam beberapa wartawan yang tersisa di wilayah tersebut, dengan demikian mengaburkan kenyataan pahit perang tersebut dari khalayak di seluruh dunia."

Associated Press tidak dapat secara independen memverifikasi keaslian dokumen yang diunggah Israel secara daring untuk mendukung klaimnya.

Al Jazeera berkantor pusat di negara Qatar yang kaya akan energi, tempat banyak pejabat senior Hamas berkantor pusat. Negara Teluk Arab, yang mendanai Al Jazeera, juga telah menjadi pemain kunci dalam negosiasi gencatan senjata Gaza, bersama dengan Amerika Serikat dan Mesir.

Jurnalis Al Jazeera. Anas al-Sharif, Hossam Shabat, Ismael Abu Omar, dan Talal Arrouki dituduh oleh Israel memiliki hubungan dengan Hamas. Ashraf Saraj dan Alaa Salameh dituduh memiliki hubungan dengan Jihad Islam.

Menurut dokumen yang dikutip Israel, mereka telah memegang berbagai peran -- penembak jitu, prajurit infanteri, pejuang, kapten, koordinator pelatihan, dan "propaganda."

Komite Perlindungan Jurnalis merilis pernyataan pada hari Rabu (23/10) yang mengkritik Israel, yang katanya "telah berulang kali membuat klaim serupa yang tidak terbukti tanpa memberikan bukti yang kredibel."

Pada bulan Juli, setelah serangan udara Israel di Kota Gaza menewaskan dua wartawan Al Jazeera, termasuk Ismail Al Ghoul, Israel "mengeluarkan dokumen serupa, yang berisi informasi yang saling bertentangan, yang menunjukkan bahwa Al Ghoul, yang lahir pada tahun 1997, menerima pangkat militer Hamas pada tahun 2007 – saat ia berusia 10 tahun," kata komite tersebut dalam pernyataannya.

Militan dari Hamas dan Jihad Islam memimpin serangan tahun lalu terhadap Israel yang menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menyandera sekitar 250 orang ke Gaza. Mereka telah bertempur bersama-sama melawan pasukan Israel di Gaza selama setahun terakhir.

Pada bulan Januari, Israel merinci tuduhan terhadap 12 karyawan badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang katanya terlibat dalam serangan Hamas terhadap Israel tahun lalu yang memicu perang di Gaza.

Badan PBB untuk pengungsi Palestina, atau UNRWA, kemudian memecat sedikitnya 21 staf karena peran mereka dalam serangan tersebut. UNRWA telah menjadi pemasok utama makanan, air, dan tempat tinggal bagi warga sipil di Gaza selama perang.

Empat jurnalis Al Jazeera telah tewas akibat serangan Israel di Gaza selama 12 bulan terakhir, menurut jaringan tersebut. Beberapa dari mereka yang tewas kemudian dituduh oleh Israel sebagai anggota Hamas atau Jihad Islam, tuduhan yang dibantah oleh media Qatar tersebut.

Pada bulan Mei, setelah pengadilan Israel memerintahkan penutupan operasi dan siaran Al Jazeera di Israel, polisi menggrebeg sebuah kamar hotel di Yerusalem Timur tempat jaringan tersebut menyiarkan gambar langsung.

Itu adalah pertama kalinya Israel menutup media berita asing. Empat bulan kemudian, Israel menggerebek kantor Al Jazeera di kota Ramallah, Tepi Barat yang diperintah Palestina, dan menutup biro tersebut di sana.

Beberapa dari mereka yang disebutkan oleh Israel pada hari Rabu (23/10), termasuk al-Sharif, telah menjadi tokoh utama liputan langsung media tersebut selama 24 jam di Gaza. Mereka telah memperoleh status seperti selebriti di antara warga Palestina dan di negara-negara lain di Timur Tengah.

Al Jazeera adalah salah satu dari beberapa organisasi berita yang masih menyiarkan berita setiap hari dari daerah kantong yang dikepung itu.

Dokumen dan intelijen yang dirilis Israel pada hari Rabu (23/10) konon menunjukkan pangkat, peran, tanggal pendaftaran, dan batalion dari masing-masing dari enam jurnalis Al Jazeera.

Setidaknya 128 jurnalis telah tewas di Gaza, Tepi Barat, Israel, dan Lebanon sejak Oktober lalu, menurut Komite Perlindungan Jurnalis. Mereka termasuk 123 warga Palestina, dua warga Israel, dan tiga warga Lebanon.

Israel telah menewaskan lebih dari 42.000 warga Palestina di Gaza sejak perang dimulai, menurut kementerian kesehatan setempat, yang tidak membedakan antara warga sipil dan militan tetapi mengatakan lebih dari separuh korban tewas adalah wanita dan anak-anak.

Bahkan sebelum perang, ketegangan antara Al Jazeera dan Israel sudah tinggi. Pasukan Israel menembak dan membunuh Shireen Abu Akleh, seorang jurnalis Palestina-Amerika, pada bulan Mei 2022 saat ia melaporkan sebuah berita di Tepi Barat.

Israel bukan satu-satunya pengkritik Al Jazeera. AS secara khusus mengkritik lembaga penyiaran tersebut selama pendudukannya di Irak setelah invasi tahun 2003 yang menggulingkan diktator Saddam Hussein, dan karena menayangkan video mendiang pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, yang mengatur serangan 11 September 2001 terhadap AS.

Al Jazeera telah ditutup atau diblokir oleh pemerintah lain di Timur Tengah. Pada tahun 2013, otoritas Mesir yang berusaha menghancurkan protes massa terhadap Presiden Mohammed Morsi menyerbu sebuah hotel mewah yang digunakan oleh Al Jazeera. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home