Iuran Wajib Poligami Komersialkan Keyakinan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai kebijakan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang mewajibkan pegawai negeri sipil (PNS) di wilayah tersebut membayar iuran wajib Rp 1 juta bila hendak berpoligami merupakan komersialisasi keyakinan.
“Tindakan tersebut adalah komersialisasi keyakinan,” kata Refly saat ditemui satuharapan.com, seusai menjadi narasumber dalam diskusi yang mengangkat tema “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pilkada Buat Siapa?”, di Ruang Wartawan DPD, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/10).
“Itu juga kontroversial, orang mau nikah itu uangnya banyak, kalau sekadar satu juta saja terlalu murah,” dia menambahkan.
Menurut dia, satu hal yang harus dipahami yakni ada masyarakat menganut paham bahwa poligami itu sah, ada juga yang tidak melegalkan poligami. “Tapi itu urusan pribadi masing-masing,” kata Refly.
Urusan negara, lanjut dia, adalah memberi pemahaman pada kepada seluruh pegawainya. Kalau negara melarang berpoligami atau membuat aturan bila ingin berpoligami harus mendapatkan izin dulu, itu merupakan komersialisasi keyakinan seseorang.
“Jadi aneh dan harus dibatalkan,” ujar pakar hukum tata negara itu.
Dia berpendapat poligami membuka potensi korupsi. Karena bila sesorang memiliki istri lebih dari satu, mempunyai kebutuhan yang jauh lebih banyak. “Sementara dia itu kan PNS dengan gaji terbatas, maka mulailah dia cari penghasilan lain, korupsi, dan jarang masuk kantor,” tutur Refly.
“Itulah yang harus diantisipasi dengan sistem perizinan. Tapi tidak boleh juga kemudian negara melarang orang berpoligami,” dia menjelaskan.
Meresahkan
Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyarakan agar pemerintah daerah jangan menciptakan aturan yang meresahkan perempuan.
“Peraturan daerah seperti itu seolah memberi peluang bagi bapak-bapak, silakan berpoligami, bayar satu juta. Janganlah menciptakan sebuah aturan yang bakal meresahkan perempuan. Satu juta itu murah dibanding perasaan kami,” kata dia.
Siti Zuhro mengatakan demokrasi seharusnya menghormati dan menghadirkan apresiasi pada kaum perempuan, bila aturan seperti itu dilegalkan akan membuat perempuan waswas.
“Aturan itu juga menjustifikasi perilaku para bapak untuk berpoligami,” ucap dia.
Pengamat politik dari LIPI itu pun mengatakan aturan tersebut hanya bisa dibatalkan bila mendapat perhatian dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan peran serta masyarakat. “Kemendagri bisa mengeliminasi itu dengan cara mengirim surat, membenahi, dan meletakkan tata hukum. Kalau secara hierarki berurusannya dengan birokrasi,” Siti Zuhro menjelaskan.
Jangan Bertabrakan
Menanggapi berita tersebut, Anggota DPD Komite I Nono Sampono mengharapkan agar aturan tersebut jangan sampai bertabrakan dengan undang-undang di atasnya. Karena menurut dia, hal tersebut bukan hanya menyangkut PNS di wilayah itu saja, tapi akan berkaitan dengan PNS di seluruh Indonesia.
“Jadi ini patut disikapi masyarakat,” kata dia.
“Kalau di DPD, kami akan tampung, ini hanya menyangkut satu daerah, yaitu Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Artinya kasuistis, dan kita berharap hanya di satu daerah itu saja kasus ini terjadi,” Nono menambahkan.
Editor : Sotyati
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...