Jaksa dan Polisi di KPK?
SATUHARAPAN.COM – Panitia seleksi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan bahwa 194 orang dari 611 orang yang mendaftar dinyatakan lolos seleksi tahap pertama (seleksi administrasi). Di antara mereka ada 23 calon perempuan, dan selebihnya, 171 adalah laki-laki.
Selain itu, di antara yang lolos seleksi tahap pertama ada empat calon dari kepolisian, dan empat calon dari kejaksaan. Panitia sempat memberikan pernyataan bahwa mereka tidak memberikan keistimewaan sama sekali pada calon dari kejaksaan an kepolisian. Alasannya, menjadi pemimpin komisi anti korupsi tak membutuhkan pengalaman teknis penyelidikan dan penyidikan.
Munculnya calon dari kejaksaan dan kepolisian, terutama mereka yang masih aktif dalam lembaga bersangkutan, tampaknya harus dicermati, terutama adalah motivasinya. Apakah karena kemauan masing-masing calon, atau ada agenda titipan yang dibawa. Mengingat bahwa kedua lembaga dalam beberapa tahun ini terlibat konflik yang keras dengan KPK.
BACA JUGA: |
Memang kita berharap bahwa hal itu akan memberi dampak positif, terutama dalam pemberantasan korupsi. Jika lulus sampai seleksi tahap akhir, para jaksa dan polisi ini bisa saja pengalamannya menjadi kekuatan yang berarti bagi KPK dalam melawan korupsi di Tanah Air.
Namun di sisi lain masuknya nama-nama dari kepolisian dan kejaksaan bisa bermakna lain. Kalau ditarik sampai pada mengapa terbentuk KPK, hal ini sebenarnya tidak perlu. Kita tahu bahwa KPK ada karena Kajaksaan dan Kepolisian dianggap tidak memadai untuk menjadi kekuatan utama memberantas korupsi.
Sebagai lembaga ad hock, KPK bisa dibubarkan setelah tugas-tugas pemberantasan korupsi bisa dijalankan dengan baik oleh Polri dan Kejaksaan. Dengan kata lain, sejalan dengan kerja keras KPK memberantas korupsi, diharapkan Kejaksaan dan Kepolisian berbenah dan memperkuat diri sebagai kekuatan memberantas korupsi.
Oleh karena itu, kedua lembaga itu memebutuhkan sumber daya yang kuat untuk melawan koruptor yang umumnya powerfull. Dalam situasi seperti ini, lantas dipertanyakan mengapa ada sumber daya di kejaksaan dan kepolisian mendaftar untuk menjadi komisioner KPK. Apakah mereka figur yang gigih memberantas korupsi tetapi merasa bahwa lembaga asal mereka tidak kondusif untuk kinerjanya? Atau mereka figur yang membawa motivasi titipan? Mereka memang telah lolos seleksi tahap pertama, namun bisa jadi bukan figur yang tepat sebagai komisioner.
Dengan tetap menghormati hak setiap warga untuk mendaftar dan menjalani proses seleksi menjadi komisioner KPK, konteks kita sekarang ini sebenarnya adalah perlu memperkuat ketiga lembaga (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) sebagai kekuatan memberantas korupsi, tetapi semsetinya penekanan pada memperkuat Kepolisian dan Kejaksaan. Selama kedua lembaga ini lemah dalam menghadapi koruptor, keberadaan KPK akan tetap diperlukan.
Dalam konteks itu, Kepolisian dan Kejaksaan perlu membangun sumber daya manusia yang terbukti kredibilitas dan kapasitasnya sebagai pemberantas korupsi, dan sebagai organisasi harus membangun budaya yang bersih dari korupsi. Di sinilah letak urgensinya, sehingga harus mempertanyakan mengapa harus ada polisi dan jaksa aktif yang ikut mendaftar sebagai komisioner KPK. Sementara di lembaganya sangat diperlukan sumber daya yang handal untuk melawan koruptor.
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...