Jalan Malala
One child, one teacher, one book and one pen can change the world. Education is the only solution. (Malala Yousafzai)
SATUHARAPAN.COM - Malala Yousafzai memang memukau. Bukan hanya karena kecantikannya, atau tragedi yang (pernah) menimpa dirinya. Tapi karena -- di usia yang baru 16 tahun -- ia punya prinsip yang jelas dan gagasan visioner tentang dunia.
Anda pasti mengenalnya. Atau, setidaknya, pernah mendengar namanya. Hampir setahun lalu, tanggal 9 Oktober, nama Malala jadi perhatian dunia. Gadis manis dari Pakistan itu ditembak pihak Taliban di wajah sebelah kiri untuk membungkam tuntutannya.
Bukan. Malala tidak menuntut macam-macam, seperti "hidup serba bebas" seperti laiknya gadis remaja -- cara hidup yang kerap dicibir kaum agamawan sebagai "kenakalan" atau "pengaruh Barat". Berbeda dengan banyak gadis seusia, Malala hanya menuntut agar anak perempuan memiliki akses pada pendidikan, setara dengan lelaki.
Tetapi bagi rezim Taliban, yang pernah memberlakukan hukum agama paling ketat dalam sejarah di Afghanistan sebelum akhirnya runtuh, tuntutan itu bisa berarti ancaman berbahaya. Sebab pendidikan melahirkan sikap kritis, independensi, dan keberanian untuk mencari kebenaran. Dan, konsekuensinya, tidak mudah begitu saja takluk pada hukum-hukum agama.
Itu sebabnya Malala harus "dibungkam" dengan segala cara, termasuk menembak dirinya dan teman-temannya. Ia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat, sebelum diterbangkan ke Birmingham, Inggris, untuk menjalani operasi. Dan Malala, serta seorang temannya, berhasil selamat.
Tanggal 12 Juli lalu, tepat saat ia berusia 16 tahun, Malala memberi pidato di depan persidangan PBB untuk kembali menyuarakan tuntutannya. "Kaum teroris berpikir bahwa mereka dapat mengubah tujuan dan menghentikan ambisi saya," kata Malala dalam pidato itu, dengan bahasa Inggris sempurna. "Tetapi tak ada yang berubah dalam kehidupan saya kecuali ini: kelemahan, ketakutan dan ketakberdayaan hilang. Kekuatan, kekuasaan dan keberanian lahir. Saya Malala yang sama. Ambisi saya sama. Harapan saya sama. Dan mimpi-mimpi saya sama."
Dunia pun terkesima. Bahkan PBB menjadikan tanggal 12 Juli sebagai "Malala Day" untuk menghormatinya. Sebab gadis manis itu mampu menyuarakan tuntutan sederhana setiap orang -- tentang hak-hak bagi anak perempuan untuk memiliki akses setara pada pendidikan -- dengan sangat jelas, tanpa tedeng aling-aling, tanpa rumusan-rumusan baku (yang lebih sering membingungkan) yang kerap dipakai para birokrat dan diplomat.
Pesan dan visinya jelas. Pertama, bagi Malala, kebencian dan kekerasan hanya akan melahirkan "lingkaran setan balas dendam" tanpa akhir. Sejenis politik tumpas kelor primitif yang hanya akan menghancurkan semuanya, dan tidak memungkinkan suatu peradaban berkembang.
Kedua, Malala juga sadar "musuh" sebenarnya bukanlah rezim Taliban -- apalagi Islam, agama yang dipeluknya -- melainkan kebodohan yang mau dipertahankan oleh rezim itu untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dan Taliban bukan satu-satunya rezim yang memakai cara itu. Ada banyak "talibanisme" yang menyusup dan mempengaruhi cara berpikir para birokrat, politisi, sampai tokoh-tokoh agama.
Karena dua hal itu, ketiga, pilihan satu-satunya adalah jalan pendidikan bagi setiap anak, khususnya anak perempuan yang, selama ini di hampir seluruh belahan dunia, tidak memiliki akses yang setara dengan anak laki-laki. Jalan yang ditawarkan Malala ini, sesungguhnya, jalan sangat panjang untuk membangun kembali peradaban yang melaluinya setiap orang mampu berpikir kritis dan mempertanggungjawabkan pilihan-pilihannya sendiri.
Persis jalan itulah yang ditakuti rezim Taliban(isme) di mana-mana. Ini diakui pimpinan Taliban di Pakistan sendiri, Adam Rasheed, dalam suratnya yang mengejutkan kepada Malala seminggu setelah pidato di PBB. Selain menyinggung nama keluarga mereka yang sama, Rasheed menegaskan, Anda mengatakan di pidato PBB kemarin bahwa pena lebih tajam daripada pedang, maka mereka menyerang karena pedang anda dan bukan karena buku-buku atau sekolah.
Saya kira, pada titik itulah kita jadi sadar apa yang sedang dipertaruhkan Malala dan generasinya ke depan: membiarkan kebodohan merajalela dan membuat rezim seperti Taliban mampu mempertahankan kekuasaan absolutnya; atau membangun peradaban baru di mana setiap individu mampu menimbang, memilih, dan mempertanggungjawabkan pilihan pribadi mereka secara kritis. Malala sudah menawarkan pilihannya. Dan ia memulainya dengan memupus dendam dan kebencian, sebelum melangkah maju.
Seharusnya kita belajar pada gadis muda itu!
Penulis adalah Koordinator Penelitian, Biro Litkom-PGI
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...