Lebaran di Indonesia
SATUHARAPAN.COM - Lebaran merupakan siklus tahunan yang selalu datang dan kembali berulang. Bukan sebuah kebetulan jika hari raya dalam bahasa Arab disebut ‘id yang berarti ulangan, putaran, dan kembali.
Namun, hari raya dalam Islam disebut Idul Fitri tidak hanya karena ia datang secara berulang-ulang, melainkan justeru karena Idul Fitri merupakan momen kembalinya manusia ke dalam kesucian (fithrah). Setelah ditempa dengan berpuasa sepanjang bulan Ramadan, orang yang menjalani ibadah puasa diharapkan kembali seperti ketika awal mula ia dilahirkan (ka yawm waladathu ummuhu); tanpa cacat dan dosa. Ini karena bulan Ramadan dianggap sebagai bulan pengampunan dosa.
Sebuah hadits mengumpamakan orang yang selesai melaksanakan ibadah puasa seperti selembar kertas putih yang bersih, tak bernoda. Namun, pengampunan Allah itu tak akan terjadi sehingga kesucian pun tak bisa diraih sekiranya seseorang masih menyimpan dosa kepada sesama. Itu sebabnya, setelah shalat Idul Fitri usai dikerjakan, umat Islam melanjutkannya dengan prosesi saling memaafkan. Anak meminta maaf kepada orang tua, begitu juga sebaliknya. Seluruh saudara berkumpul, saling bermaaf-maafan. Tetangga yang satu berkunjung ke tetangga yang lain untuk memohon maaf.
Pada saat itu, jalan-jalan kampung penuh dengan lalu lalang manusia. Seluruh orang tak ragu mengulurkan tangan pada yang lain untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang mungkin pernah dilakukan. Tak berhenti sampai disitu, jabat tangan pun diikuti dengan ucapan “mohon maaf lahir dan batin” lalu tak jarang dilanjutkan dengan ungkapan doa, ja’alana Allah min al-a’idin wa al-faizin wa al-maqbulin (semoga Allah menjadikan kita semua kembali ke fitrah, menang melawan dosa kita, dan amal ibadah kita diterima Allah).
Tradisi saling berkunjung dan bermaaf-maafan hingga ke rumah-rumah bahkan di jalan-jalan itulah yang membedakan umat Islam Indonesia dengan umat Islam di belahan dunia Islam lain. Dalam konteks masyarakat Indonesia, lebaran tak hanya menjadi “milik” orang yang berpuasa. Lebih dari itu, lebaran pun bukan hanya kepunyaan umat Islam saja, melainkan seluruh warga bangsa.
Sekalipun ada beragam agama di Indonesia, ketika lebaran tiba, semua menyambutnya dengan penuh suka cita. Hubungan-hubungan kemanusiaan yang melintasi batas-batas primordial keagamaan muncul begitu rupa dalam momen hari raya. Tak ada lagi sekat antara umat Islam dan umat agama lain. Tak ada “kami” dan “mereka”. Hari Raya telah menyatukan dan merekatkan seluruh anak bangsa.
Saya kerap berjumpa dengan komunitas non-Islam yang turut bergembira dengan kehadiran hari raya besar Islam ini. Kegembiraan itu nyata, sehingga silaturrahmi bisa berlangsung antara orang Islam dan umat agama lain di Indonesia. Sekiranya silaturrahmi secara jasmaniah urung diselenggarakan karena kendala jarak yang jauh, maka silaturrahmi pun bisa dilakukan melalui berbagai media komunikasi.
Jika tahun-tahun sebelumnya saya masih sering misalnya menerima kiriman pos kartu ucapan “selamat hari raya Idul Fitri” dari teman dan kolega non-muslim, maka belakangan ucapan itu banyak diungkapkan melalui media sosial seperti facebook, twitter, dan lain. Dengan itu, sekali lagi, Idul Fitri tak hanya menjadi peritiwa peribadatan yang dinikmati umat Islam secara komunal-terbatas, melainkan juga telah menjelma menjadi peristiwa sosial yang bisa dinikmati publik secara luas. Festival lebaran telah melibatkan semua orang dari berbagai latar belakang agama, keyakinan, etnis, dan suku.
Hari raya sebagai peristiwa sosial itu kian semarak dengan peristiwa mudik menjelang lebaran. Beberapa hari sebelum lebaran, telah terjadi perpindahan jutaan orang dari satu tempat ke tempat lain--biasanya dari kota ke desa. Menarik, ketika Hari Raya Idul Fitri berlangsung, kota seperti kumpulan rumah tak bertuan karena ditinggal mudik penghuninya ke kampung halaman.
Mudik tak dimaksudkan untuk melaksanakan shalat idul fitri an sich. Lebih dari itu, mudik juga dimaksudkan sebagai momen untuk membagi “kesuksesan” dengan sanak keluarga dan para tetangga di kampung. Dengan demikian, lebaran tak hanya memindahkan manusia dari kota ke desa, melainkan juga menggerakkan perekonomian desa. Uang yang selama 11 bulan sebelumnya banyak beredar di kota, maka ketika lebaran tiba uang seperti menumpuk di desa. Ini adalah bagian dari keberkahan lebaran yang kita rayakan bersama di Indonesia.
Selamat merayakan Idul Fitri 1434 H, mohon maaf lahir dan batin.
Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...