Jamu: Anak Tiri di Negeri Sendiri
SATUHARAPAN.COM – Harsono (bukan nama sebenarnya), 55 tahun, duduk di teras ruang praktik dokter umum, di kawasan Tangerang pada Jumat malam lalu. Dia dan istrinya mengantar anak mereka satu-satunya berobat ke dokter yang konon bertangan dingin itu. Dari rumahnya di Bekasi, tidak kurang dari dua jam perjalanan harus ditempuh orang tua ini menuju Tangerang.
Harsono bercerita tentang kondisi kesehatan putranya. Putranya yang masih berusia tujuh tahun itu sudah dua tahun terakhir didiagnosa mengidap penyakit pada kelenjar getah bening. Hanya sebatas itu informasi yang diketahuinya. Apakah penyakit itu tergolong kanker, tumor atau yang lain, dia sama sekali tidak paham.
Selama delapan bulan terakhir keluarga ini harus bolak-balik Bekasi – Tangerang untuk menemui si dokter bertangan dingin itu. Sebelumnya, pasangan itu sudah mencoba dokter yang lain tetapi tidak banyak perkembangan yang berarti. Obat-obatan kimia berdosis tinggi waktu itu sudah cukup banyak dijejalkan ke mulut anak kesayangannya.
“Saya mengeluh ke istri waktu itu. Anak masih kecil dijejali obat kimia dosis tinggi. Kalau bisa yang lebih rendah dosisnya. Takutnya nanti menjadi ketergantungan dengan obat keras.”
Kekhawatiran itu yang kemudian mendorongnya berinisiatif mencari dokter lain. Gayung pun bersambut. Saat sedang galau mencari second opinion, seorang kerabat datang membawa solusi. Dia dikenalkan kepada seorang dokter yang berpraktik di Tangerang itu. Harsono mengaku sedari awal sudah mempercayai sang dokter, karena kerabatnya terbukti berhasil sembuh dari amandel. Yang lebih membuat dia girang, obat yang diberikan bukan obat keras, namun tergolong obat tradisional sejenis jamu-jamuan.
Antara Nonmedis dan Holistik
Jamu memiliki sejarah panjang dalam dunia pengobatan di Nusantara. Profesor Ernie H Purwaningsih dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menuliskan praktik penggunaan jamu di Nusantara sudah ada sejak abad kelima. Seperti disebutkannya dalam tulisannya “Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia”, hal itu tercatat di prasasti, relief candi, dan teks-teks lontar. Walau jamu ada dalam khazanah pengobatan Nusantara, meresepkan sebagai obat merupakan hal yang masih diperdebatkan di dunia kedokteran Indonesia.
Penggunaan jamu sejauh ini dipandang sebagai pengobatan nonmedis. Cara pengobatan konvensional dengan bahan kimia sudah sangat dominan sehingga jamu dipandang sebelah mata.
“Jamu itu sudah berpengalaman ratusan tahun. Tetapi masih diragukan. Padahal semua orang tua kita meminum jamu. Sementara kami di kedokteran selalu diminta mana bukti ilmiahnya, uji klinis. Uji klinis fase berapa? Fase tiga atau fase empat?” kata Ernie menggambarkan perdebatan itu.
Ernie mengingatkan, selama ini uji klinis atas obat kimia dilakukan di luar negeri. Tidak ada yang di Indonesia. Dengan kata lain, dokter Tanah Air menelan bulat-bulat hasil uji klinis yang disodorkan dari luar negeri. Masalahnya, kata dia, sering kali dokter spesialis memberikan 10 hingga 15 obat. “Bagaimana membuktikan bahwa yang bekerja itu obat A atau B atau C, atau kombinasi dari senyawa itu? Memberikan 15 obat apakah ada bukti ilmiahnyanya?” katanya.
Dokter Riris Widhawati dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tangerang Selatan menjelaskan, sebenarnya sejumlah rumah sakit dan klinik sudah ditunjuk untuk menggunakan pengobatan jamu. Tetapi kedokteran di Indonesia lebih fokus pada pengobatan konvensional. Pengobatan jamu dan herbal tidak diajarkan. Akibatnya, jamu dan herbal kurang tersentuh.
Berbeda dengan negeri tetangga, Thailand, yang menerapkan metode pengobatan terintegrasi antara metode konvensional modern dan tradisional herbal, mengapa Indonesia tidak seperti itu?
Penggunaan jamu dalam dunia pengobatan pun tidak dapat sembarangan, “Konsumsinya harus sesuai indikasi dan dosis. Cara meminumnya juga harus benar, sebelum atau sesudah makan. Jangan meminum jamu bersamaan dengan obat konvensional.”
Dokter praktisi jamu di Klinik Djamoe Martha Tilaar, Richard Siahaan, menjelaskan kekhasan pengobatan dengan jamu, ”Jamu menekankan aspek preventif, promotif, dan rehabilitatif. Penilaiannya pada kualitas hidup. Kesembuhan itu efek jangka panjang. Sementara pengobatan konvensional itu lebih banyak dari sakit menjadi sembuh. Kalau jamu dari sakit menjadi sehat, dan menjadi lebih sehat. Kami melihatnya secara holistik. Tidak memandang pasien sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Kami bekerja sama seutuhnya dengan pasien tersebut.”
Klinik Djamoe Martha Tilaar sendiri terletak satu lokasi dengan Kampoeng Djamoe Martha Tilaar di kawasan Cikarang. Di lokasi ini terdapat 600 spesies tanaman obat.
Kepala Kampoeng Djamoe Martha Tilaar, Profesor Bernard T Widjaja, menyebutkan pengobatan di Klinik Djamoe Martha Tilaar sepenuhnya menggunakan jamu. Tidak menggunakan obat konvensional sama sekali.
Lebih jauh Richard Siahaan menjelaskan penggunaan jamu di Klinik Djamoe Martha Tilaar ini tidak sembarangan. ”Jamu yang kita pakai ini yang sudah ada uji empirisnya dan diakui Kementerian Kesehatan. Sebenarnya bukti empiris itu sudah ada pada zaman nenek moyang. Hanya tidak tercatat. Jamu yang dipakai di sini terstandar Kementerian Kesehatan dan bentuknya berupa jamu godokan. Jamu godokan itu campuran, formulasi dari beberapa herbal.”
Sementara Riris Widhawati walau berpraktik pengobatan tradisional, tidak saja meresepkan jamu untuk pengobatan. Dalam beberapa hal, dia pun mengkombinasi dengan obat konvensional yang modern selayaknya dokter kebanyakan dan rumah sakit.
“Pada saat pasien datang dengan kondisi kronis, aku butuh kecepatan bukan hanya ketepatan. Biasanya aku kombinasi dengan obat antibiotik konvensional. Jadi aku tidak memberi antibiotik dalam bentuk herbal. Seperti diagnosa tipus. Tipus itu kronisnya ke pervorasi usus. Yang fatal menyebabkan terjadinya meningitis atau radang selaput otak,” ujarnya lagi.
Ketersediaan Bahan Obat
Konferensi Tingkat Tinggi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September 2000 menyinggung soal kontribusi herbal dalam urusan kesehatan dunia. Disebutkan bahwa untuk bidang kesehatan, jamu dan pengobatan herbal turut berkontribusi dalam mencapai tujuan pembangunan Milenial.
Sikap tegas PBB itu mengacu pada rekomendasi Badan Kesehatan Dunia WHO atas penggunaan obat tradisional dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit. Publikasi regional WHO Asia Tenggara pun merangkum tentang pengobatan tradisional Indonesia dalam “Traditional Medicine in Asia (Pengobatan Tradisional di Asia)”.
“Program universal ini sedikitnya mensyarakatkan standar pelayanan mutu minimal. Harapannya tidak terlepas dari jamu dan pengobatan herbal,” kata Riris Widhawati yang juga menjabat Ketua Hubungan Luar Negeri di Pengurus Pusat Asosiasi Pengobat Tradisional Indonesia (PP Aspetri).
Pendapat Riris Widhawati ini tidak lepas dari pengamatannya akan kurangnya ketersediaan obat, “Saya sadari obat-obat modern sekarang juga terbatas, makin sedikit juga. Saya sebagai dokter kadang-kadang tidak memperoleh ketersediaan obat. Tidak ada. Kosong. Saya tanya ke apotek. Katanya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Secara umum kota-kota besar bisa kekurangan obat modern. Apalagi di daerah terpencil. Semakin ke pelosok akan semakin susah.”
Semestinya kelangkaan obat tidak menjadi kiamat lokal. Toh, zaman dahulu daerah banyak kekurangan tenaga kesehatan apalagi obat-obatan kimia. Tetapi leluhur Nusantara dapat bertahan hidup. Tak ada sebab lain kecuali karena mereka terbantu dengan pengobatan tradisional saat itu.
“Saya berharap pengobatan konvensional modern maupun tradisional nantinya seiring sejalan seperti halnya di negara lain,” kata Riris Widhawati.
Editor : Sotyati
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...