"Jangan Menyerah Mary Jane!"
MANILA, SATUHARAPAN.COM - "Jangan Menyerah Mary Jane," jadi sebuah judul media online internasional, seakan memberi semangat kepada Mary Jane Fiesta Veloso, ibu dua anak berkewarganegaraan Filipina, yang kini menanti kepastian nasib atas statusnya sebagai terpidana hukuman mati.
Lama tak jadi sorotan setelah eksekusi mati dirinya ditunda pada menit-menit terakhir April lalu, kini nama Mary Jane jadi perbincangan lagi. Ajal terpidana hukuman mati kasus narkoba ini seakan tinggal menunggu hari, ketika hari Minggu lalu Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mempersilakan dirinya menjalankan eksekusi mati terhadap perempuan pekerja migran itu.
Namun, rencana eksekusi mati kini kembali dipertanyakan setelah Presiden Duterte, melalui para pembantunya, memberi klarifikasi bahwa ia tidak pernah mempersilakan Jokowi mengeksekusi warga negaranya itu. Menurut dia, dirinya hanya mengatakan agar Jokowi menjalankan hukum yang berlaku di Indonesia.
Belakangan, Jokowi seakan memberi klarifikasi sekaligus memberi 'perpanjangan nafas' kepada Mary Jane ketika ia mengatakan bahwa Indonesia juga menghormati proses hukum yang ada di Filipina. Dengan begitu, menurut Jokowi, Indonesia masih menunggu proses hukum yang terkait dengan Mary Jane yang masih berlangsung di Filipina.
"Karena masih ada proses di sana," kata Presiden Jokowi, sebagaimana dilansir dari Antara.
Salah satu proses hukum yang berjalan di Filipina adalah adanya pengakuan pasangan suami-istri, Maria Kristina Sergio dan Julius Lacanilao. Dua warga negara Filipina ini dikenal sebagai perekrut Mary Jane.
Pada sidang bulan Mei lalu, terkait dugaan sindikat perdagangan narkoba internasional dan perdagangan manusia, terungkap bahwa Maria Kristina Sergio mengaku kepada Badan Investigasi Nasional Filipina bahwa ia terlibat dalam operasi perekrutan orang untuk melayani usaha penyebaran narkoba.
Dalam dokumen dakwaan setebal 18 halaman, terungkap rincian dugaan bahwa pasangan tersebut memiliki relasi dengan sindikat narkoba internasional, baik di dalam maupun di luar wilayah Filipina, seperti Manila, Hong Kong, dan Malaysia.
Reuters mengutip pernyataan Kepala Jaksa Departemen Kehakiman Filipina, Claro Arellano, bahwa kasus tersebut telah diperiksa sebelum diserahkan ke Pengadilan Regional Provinsi Nueva Ecija, tempat pasangan itu berasal.
Ia menambahkan, dakwaan yang dituduhkan kepada Kristina Sergio dan Lacanilao juga didasarkan pada pengaduan dari tiga orang yang direkrut untuk bekerja di luar negeri. Namun ternyata pekerjaan yang dijanjikan itu tidak ada.
Maria Kristina Sergio menyerahkan diri pada Selasa (28/4/2016) pagi pukul 10:00 hanya beberapa jam sebelum eksekusi Mary Jane. Maria Kristina Sergio menyerahkan diri kepada kepolisian Cabantuan, Filipina. Ia bersama suaminya dan seorang lagi yang berdarah Afrika yang diidentifikasi sebagai Ike, diyakini merupakan orang yang merekrut Mary Jane dan menjanjikan akan diberi pekerjaan di Malaysia.
Campur Tangan Presiden Filipina
Berbagai kalangan di Filipina, termasuk Gereja Katolik, telah mengeluarkan seruan untuk membela nyawa Mary Jane, demi alasan kemanusiaan. Namun, banyak kalangan meyakini ditundanya eksekusi mati terhadap Mary Jane April lalu terutama karena adanya campur tangan Presiden Filipina kala itu, Benigno Aquino III, yang menekankan bahwa proses hukum di Filipina yang ada kaitannya dengan Mary Jane, belum rampung.
"Eksekusi Mary Jane ditunda karena ada permintaan dari Presiden Filipina," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony Tribagus Spontana di Jakarta, ketika itu, sebagaimana disiarkan oleh Antara.
Dia menjelaskan pelaku perdagangan manusia di negara itu telah menyerahkan diri, sedangkan Mary Jane sebagai korban mereka.
"Mary Jane ini masih dibutuhkan keterangannya," katanya.
Kala itu Mary Jane selamat, sedangkan delapan terpindana mati lainnya tetap menjalani eksekusi, yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan (Australia), Martin Anderson (Ghana), Raheem Agbaje (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Rodrigo Gularte (Brazil), serta Sylvester Obiekwe Nwolise dan Okwudili Oyatanze (Nigeria).
Lain Aquino, Lain Duterte?
Masalahnya kini adalah presiden Filipina sekarang bukan lagi Benigno Aquino III, melainkan Rodrigo Duterte yang garang terhadap pelaku kejahatan narkoba. Menurut sementara kalangan, dalam kasus Mary Jane, posisi Duterte dilematis. Jika ia membela Mary Jane di Indonesia, bagaimana dengan nasib upaya yang tengah dijalankannya di dalam negerinya, dimana ia telah mengizinkan pembunuhan tanpa melalui proses hukum terhadap para pelaku kejahatan narkoba.
Di pihak lain, popularitas Mary Jane juga sangat tinggi di dalam negeri Filipina. Duterte akan dipersalahkan bila ia tidak membela warga negaranya yang tengah menghadapi eksekusi mati di negara lain.
Senator Risa Hontiveros, termasuk yang mendesak Duterte untuk melakukan upaya ekstra untuk membebaskan Mary Jane dari hukuman mati. Menurut senator perempuan ini, pemerintah Filipina harus membela Mary Jane, bukannya malahan menyerah.
“Saya mendesak pemerintah Duterte untuk membela hak hiduo Mary Jane. Pemerintah harus melalnjutkan segala berbagai upaya untuk menjadikan penangguhan hukuman mati yang diberikan Jokowi kepada Mary Jane permanen," kata dia.
“Mari kita ingat bahwa akan banyak wanita yang dapat mengalami nasib yang sama. Adalah tugas pemerintah untuk mencegah hal semacam ini menjadi keadaan normal baru," lanjut dia, sebagaimana dilansir dari inquirer.net.
“Dengan segala hormat kepada kedaulatan Indonesia, saya bergabung dengan seruan untuk menyelamatkan hidup Mary Jane. Menyelamatkan hidup Mary Jane adalah hal benar untuk dilaksanakan oleh pemerintah Filipina maupun Indonesia," kata dia.
“Jika kita ingin berhasil dalam kampanye melawan perdagangan obat terlarang, upaya penegakan hukum harus dilengkapi dengan pengakuan yang kuat akan kerentanan wanita miskin di seluruh wilayah ini dan diperlukan upaya segera untuk melindungi mereka," kata dia.
“Dia (Mary Jane) ke Indonesia sebagai pekerja migran, dan seperti banyak orang Filipina lainnya, dia berharap bekerja di luar negeri akan meningkatkan taraf hidupnya. Sayangnya dia dijebak oleh sindikat obat terlarang internasional membawa narkoba ke Indonesia," dia menambahkan.
Hidup adalah Hak
Suara seperti yang datang dari senator Filipina ini, juga muncul dari berbagai kalangan di Tanah Air, termasuk dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), yang menolak hukuman mati.
Sedari awal, PGI menolak hukuman mati dan telah menyampaikan pandangan itu kepada Presiden Joko Widodo melalui surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pendeta Henriette T Hutabarat Lebang, dan Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom.
Ada berbagai alasan yang dikemukakan PGI. Di antaranya, gereja-gereja di Indonesia hadir sebagai respons terhadap panggilan Tuhan yang mengaruniakan kehidupan kepada manusia. Gereja-gereja mengakui, Tuhanlah Pemberi, Pencipta, dan Pemelihara Kehidupan.
Karena itu, PGI memandang hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap manusia. PGI percaya bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabut kehidupan.
Kedua, PGI paham negara menjalankan dan menegakkan hukum dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat, namun seharusnya hukum yang diterpakan bisa mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat.
Selain itu, dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati sering mengalami kekeliruan, tanpa pernah bisa dikoreksi kembali. PGI mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkracht ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut.
Editor : Eben E. Siadari
Baca Juga:
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...