Jarimu Harimaumu
SATUHARAPAN.COM – Dalam salah satu tulisan di dinding media sosialnya, seorang teman menulis suatu kritikan terhadap pemerintah daerah mengenai adanya dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tepatnya, ia mengutip pembicaraan yang didengarnya dari PNS di pemerintahan daerah tersebut. Lalu saya mengirimkan pesan kepadanya agar ia sebaiknya tidak menuliskan hal sedemikian di media sosialnya karena itu masih berupa dugaan yang sulit dibuktikan. Saya mengingatkan bahwa melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ia dapat dituntut pemerintahan daerah tersebut ke pengadilan.
Saya terkejut melihat responnya, ”Tidak apa-apa Bang. Jika karena itu saya dipenjara, semoga makin banyak orang mengungkapkan kebenaran.” ”Haruskah demikian? Bukankah itu kebodohan?” tanya saya dalam hati.
Dalam grup lain di media sosial, saya heran melihat berbagai sikap dan kalimat yang tidak bijak dalam satu percakapan. Tanpa mengenal secara mendalam satu sama lain, dialog berubah menjadi saling tuduh. Semua menganggap diri benar dan lebih benar dari yang lainnya. Meninggalkan grup, menjelekkan grup dalam dinding media sosial pribadi, memengaruhi orang lain meninggalkan grup menjadi respon yang muncul. ”Apakah memang seharusnya demikian?” tambah tanya dalam hati saya.
Tak dapat disangkal, di era digital segala sesuatu berubah dengan cepat di dunia maya. Fakta, gosip, kejujuran, kebohongan, dan rumor menyebar sangat cepat. Bahkan jari tangan bergerak lebih cepat ketimbang kecepatan otak berpikir.
Namun, seharusnya itu tidak membuat kita menjadi sembarangan. Kita perlu bijak dalam memposting, mengomentari, dan membagikan (share) sesuatu. Jika di masa lampau terdapat adagium klasik ”mulutmu harimaumu”, maka di era digital ini: ”Jarimu harimaumu!”
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...