Jaring Pukat Meninggalkan Penderitaan bagi Nelayan
BANGKOK, SATUHARAPAN.COM – Pukat harimau adalah alat tangkap ikan yang merusak lingkungan. Praktik ini telah menjadi bencana serius bagi nelayan di banyak negara, termasuk Indonesia dan Thailand. Di Indonesia, khususnya di kawasan perairan Sumatera, nelayan kapal pukat mencacat sejarah konflik yang keras dengan nelayan tradisional.
Jaring pukat harimau (trawl) sebenarnya telah dilarang di Indonesia, namun tampaknya masih ada praktik secara gelap. Kerusakan laut akibat pukat harimau tercermin dari kisah para nelayan Thailand ini, di mana ikan dan kekayaan laut adalah masa depan mereka yang telah dikuras.
Ikan-ikan Hilang
"Ketika saya mulai memancing, ada begitu banyak hiu dan ikan pari di teluk ini. Ada berbagai jenis ikan yang kami digunakan untuk menangkap. Tapi sekarang kami tidak melihat mereka sama sekali."
Demikian dikatakan Niwat Chaloemwong, seorang nelayan di Teluk Thailand tentang betapa drastisnya penurunan kekayaan biota laut di kawasan itu akibat digunakannya pukat harimau (trawl) untuk menangkap ikan oleh para nelayan di kawasan itu.
"Saya pertama kali melihat orang-kapal menggunakan pukat harimau di teluk ini sekitar 20 tahun yang lalu. Mereka datang, mereka mengeruk segalanya, bahkan bibit ikan juga ditangkap. Jala yang mereka gunakan sangat halus, dan hal ini berbahaya karena berarti ikan tidak dapat berkembang biak dan bisa punah, " katanya menegaskan.
Perkembangan pariwisata di Thailand juga mendorong penangkapan ikan secara besar-besaran dan mengeruk kakayaan laut yang dimiliki negara ini. Chaloemwong sangat khawatir, karena kekayaan laut adalah penghidupannya. Dia mulai menangkap ikan pada usia 12 tahun dan mengandalkan hidup sebagai nelayan selama 40 tahun lebih. Namun terkurasnya kekayaan laut dan perubahan iklim apakah masih bisa diandalkan?
Kapal nelayan dengan jaring pukat harimau menarik jaring besar melalui air, dan kadang-kadang menyeret jaring di dasar laut . Nelayan yang menggunakan alat tangkap ini jumlahnya hanya 13 persen dari semua kapal penangkap ikan di Thailand, tetapi bertanggung jawab atas lebih dari setengah dari hasil tangkapan di negara itu.
Akibat yang ditimbulkan cukup besar, yaitu penurunan kekayaan biota laut dan kemudian hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Cara tangkap ini telah dilarang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Namun praktik destructive fishing ini masih terus dilakukan.
"Bagi beberapa nelayan kecil, tangkapan telah menurun hingga setengahnya. Saya rasa ini adalah karena trawl mengambil terlalu banyak ikan dan tidak meninggalkan cukup ikan bagi masyarakat," kata Chaloemwong.
Jeratan Utang
Angsada Klanphaitoon, seorang nelayan kecil dari Khao Deng, mengatakan bahwa kapal pukat komersial yang berduyun-duyun mengeruk ikan di teluk itu telah membuat hidup mereka semakin berat. Para nelayan kecil kemudian hidup dalam jeratan utang untuk mengejar bencana keuangan yang mereka hadapi. Situasi yang buruk terutama ketika musim badai, sehingga nelayan kecil tidak bisa melaut.
Situasi seperti ini juga dialami oleh banyak nelayan di Indonesia. Di Bengkalis, beberapa tahun lalu bahkan terjadi konflik berkekerasan antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat harimau. Ironisnya, beberapa nelayan kapal pukat ini datang dari negara lain, termasuk dari Thailand.
"Kapal pukat memiliki jaring besar yang menyeret sepanjang dasar laut dan mengambil segala sesuatu," kata Angsada. "Mereka bahkan mengambil ikan-ikan kecil, yang berarti akan membuat tangkapan kami berkurang, karena mereka mengambil generasi berikutnya."
Di Thailand, jaring pukat tidak hanya menguras ikan tanpa pandang bulu, dan menghisap kehidupan laut, mereka juga dapat menyeret jaring yang ditebarkan nelayan kecil. "Tahun lalu saya mengeluarkan 15.000 Baht Thailand (setara dengan US$ 480 atau hampir sama dengan Rp 5 juta) untuk menggantikan jaring saya yang terjebak oleh jaring trawl," kata Klanphaitoon. "Ini adalah untuk ketiga kalinya terjadi padaku."
Satu-satunya cara baginya untuk mengganti jaring adalah dengan mendapatkan pinjaman. Jika jaring menghilang lagi sebelum dia melunasi pinjaman, dia berada dalam bahaya lingkaran setan utang dan tidak bisa keluar. Sebab, tidak ada jaminan dia akan mendapatkan hasil tangkapan yang baik.
Kerusakan Ekosistem
"Kami pergi keluar untuk menangkap cumi-cumi pada malam hari, tapi ayah saya mengatakan hasilnya sangat kurang dibandingkan tangkapan pada zamannya," kata Klanphaitoon. "Para pengelola tambak udang melepaskan air yang tercemar ke laut dan ini membuat cumi-cumi menghilang."
Garis pantai di Thailand dipenuhi oleh tambak udang. Tambak itu banyak yang dimiliki oleh jaringan supermarket besar di Thailand. Cara itu dilakukan untuk memenuhi permintaan udang untuk lokal maupun luar negeri. Banyak sawah telah dikonversi menjadi tambak udang, dan hutan mangrove, ekosistem pesisir yang penting, telah hancur. Air laut dilaporkan makin rusak oleh limbah peternakan yang mengandung antibiotik dan pupuk kimia.
Situasi ini diperparah oleh iklim yang berubah dan semakin tidak mudah diprediksi. Padahal bagi nelayan di sana hidup bagaikan tanpa masa depan jika tidak ada ikan. Dan mereka tengah menghadapi kenyataan hidup yang pahit dari kerusakan alam. (aljazeera.com)
Editor : Sabar Subekti
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...