Jaringan Pegiat HAM Tolak Pembentukan DKN
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lembaga pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) meminta kepada pemerintah membatalkan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKM) karena dinilai cacat dan melanggar hukum.
Pernyataan itu disampaikan oleh sejumlah aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan para korban HAM di kantor KontraS, Jalan Kwitang II, Jakarta Pusat, hari Sabtu (18/2).
Mereka menolak konsep DKN yang diusulkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto karena tidak kredibel. Dugaan adanya kepentingan politik pribadi Wiranto terlihat dalam proses penyusunan konsep dan draft Peraturan Presiden (Pepres) yang dinilai sangat tertutup.
DKN dinilai keluar dari jalur penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan menyimpang dari arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Komitmen Presiden Jokowi yang disampaikan dalam pidato peringatan Hari HAM Internasional pada 9 Desember 2014 dan 11 Desember 2015 lalu masih kami pegang dan itu juga tertuang secara spesifik dalam Nawa Cita. Dalam pidato tersebut, Presiden Jokowi mengatakan, ada dua jalan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, yaitu jalur judisial dan non-judisial," demikian pernyataan pers mereka.
Arahan Presiden Jokowi itu, menurut mereka, seharusnya direalisasikan oleh pemerintah dengan mendorong proses penegakan hukum. Dalam hal ini Kejaksaan Agung melakukan penyidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Kemudian dalam konteks penyelesaian non-judisial, langkah yang harus ditempuh adalah dengan membentuk Komisi Kepresidenan sebagaimana disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Dalam RPJMN itu disebutkan penyelesaian secara berkeadilan atas kasus pelanggaran HAM memerlukan konsensus nasional, di mana Komisi Kepresidenan melakukan proses pengungkapan dengan mengumpulkan informasi langsung maupun dokumen untuk menyusun laporan yang konprehensif mengenai berbagai kekerasan dan peristiwa pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di masa lalu.
Berdasarkan janji Presiden Jokowi, mereka menilai konsep DKN bertentangan dan tidak sesuai dengan arahan. "Kami menilai konsep DKN yang dibuat oleh Wiranto hanya sebagai alat untuk mencuci tangan dari pertanggungjawaban hukum atas dugaan keterlibatan dia dalam peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu," demikian pernyataan para aktivis.
Mereka meminta Presiden Joko Widodo berkomitmen pada janji politiknya dan mentaati prosedur hukum yang berlaku.
"Kami meminta Presiden Jokowi harus mengambil sikap tegas yang pertama, membatalkan DKN dan tidak menyerahkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM kepada Menkopolhukam Wiranto."
"Kedua, membentuk Komisi Kepresidenan sebagaimana disebutkan dalam RPJMN 2014-2019 dan memilih figur yang berintegritas, berpihak kepada keadilan, dan memiliki rekam jejak yang kredibel pada isu kemanusiaan."
"Dan terakhir, menginstruksikan kepada Kejaksaan Agung untuk segera melakukan penyidikan ditahun ini terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Jika Jaksa Agung tidak mengindahkan instruksi Presiden Jokowi, sepatutnya, presiden harus menggantinya.
Pernyataan sikap itu disampaikan oleh Ferry Kusuma (KontraS), Gufron (Imparsial), Asfinawati (YLBHI), Theo Hesegem (Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan tengah Papua) dan Sumarsih (keluarga korban pelanggaran HAM).
Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua
Dalam pernyataan itu hadir juga Theo Hesegem dari Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan tengah Papua yang menyampaikan tentang pertemuan antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan para korban dan keluarga korban di Papua.
“Bahwa proses penyelesaian pelanggaran HAM di Papua yang direncanakan oleh negara, para korban masih menolak. Belum lama ini Komnas HAM datang ke Wamena. Dalam pertemuan itu, para korban menolak kehadiran Komnas HAM di sana,” kata Theo Hesegem saat memberikan keterangan persnya.
Theo mengungkapkan, para korban menolak kedatangan Komnas HAM karena dinilai kasus yang dibahas terkait Wamena dan Wasior itu merupakan kasus lama sudah hampir 18 tahun.
“Para korban dan keluarga korban belum mempercayai Komnas HAM untuk melanjutkan kasus Wamena dan Wasior, maka dari itu mereka meminta maaf bahwa penolakan itu sebagai bentuk sikap karena kasus itu sudah sangat lama dan membosankan,” ujar Theo.
Theo menyampaikan dalam pernyataan para korban pada saat pertemuan, mereka meminta pihak ketiga untuk memediasi dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi. Para korban dan keluarga korban menilai, jika penyelesaian kasus pelanggaran HAM dilakukan oleh negara, sedangkan mereka menganggap negara sebagai pelaku, tidak akan terlaksana.
“Jadi harus ada pihak ketiga yang hadir untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu di Papua”, kata Theo menyampaikan pernyataan para korban dan keluarga korban.
Theo menambahkan bahwa pernyataan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM yang mendorong kasus ini dilanjutkan dalam proses yudisial itu bukan permintaan para korban dan keluarga korban, dan itu tidak dimunculkan oleh Komnas HAM.
“Saya yang memfasilitasi pertemuan itu, sikap serta pernyataan para korban dan keluarga korban tidak dimunculkan oleh Komnas HAM,” ujar Theo.
"Jadi saya melihat penolakan korban dan keluarga korban terhadap Komnas HAM itu tidak dimasukkan, saya masih ingat waktu itu tanggal 20 Desember 2016. Berbeda jauh apa yang disampaikan oleh Komnas HAM dengan permintaan para korban dan keluarga korban di sana."
Editor : Eben E. Siadari
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...