JATAM Dukung Komnas HAM Tetapkan Freeport Pelanggar HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendukung penuh langkah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan PT. Freeport Indonesia (FI) sebagai pelanggar berat HAM berkaitan dengan kasus kecelakaan yang terjadi di lubang tambang PT. FI Big Gossan di Papua Barat pada 14 Mei 2013 lalu yang menyebabkan 28 pekerja meninggal dunia.
Sudah seharusnya peristiwa tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran HAM dan bukan sekadar kecelakaan semata. Kelalaian PT. FI harus dihukum secara setimpal karena hal tersebut berkaitan dengan penghilangan nyawa manusia.
Peristiwa Big Gossan merupakan salah satu dari banyak masalah operasi PT. FI yang mengancam keselamatan para pekerja maupun masyarakat sekitar. Sebagai contoh, jebolnya Danau Wanagon pada tahun 2000 di mana pada saat itu limbah batuan PT. FI longsor dan akibatnya danau tersebut jebol dan air di danau itu menjadi tercemar karena limbah PT. FI yang tumpah.
Peristiwa tersebut terulang kembali pada 9 Oktober 2013 dan 13 karyawan PT. FI meninggal. Pada saat itu, pemerintah menetapkan bahwa kecelakaan tersebut adalah kecelakaan biasa karena karena faktor alam. Sedangkan, Komnas HAM lebih memilih memberikan laporan itu ke Freeport Pusat di Amerika melalui Kedubes Amerika di Indonesia.
JATAM menilai bahwa pemerintah cenderung melakukan pembiaran terhadap kelalaian maupun kesengajaan industri pertambangan dalam perusakan lingkungan dan merampas ruang hidup masyarakat, khususnya yang dilakukan oleh PT. FI.
Dalam siaran persnya, JATAM juga mengungkapkan bahwa rentetan kasus pencemaran lingkungan hingga pelanggaran HAM yang dilakukan PT. FI adalah bukti nyata dari daya rusak industri pertambangan yang dibiarkan oleh pemerintah.
PT. FI Erat Kaitannya dengan Pelanggaran HAM
Aktifitas pertambangan PT. FI sangat berkaitan erat dengan pelanggaran HAM dan kekerasan yang terjadi di Papua Barat. Pada tahun 2001, PT. FI mengakui telah mengucurkan dana USD 14 juta atau senilai dengan Rp 164 miliar kepada TNI dan Polisi sebagai biaya pengamanan wilayah pertambangan.
Maka terkadang kasus pelanggaran HAM dan kekerasan yang melibatkan TNI/Polri di Papua sangat berkaitan dengan pengamanan aktifitas pertambangan di PT. FI. Tidak hanya itu, rentetan pelanggaran HAM selama pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua 1978-1998 serta pembantaian suku Amungme dan enam suku lainnya di sekitar lokasi PT. FI pada 1977 yang menewaskan lebih dari 900 orang.
Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menurut JATAM semakin menegaskan bahwa paradigma pembangunan ekonomi Indonesia adalah pembangunan berbasis investasi yang mempertaruhkan keselamatan rakyat. Contohnya dalam kasus Big Gossan PT. FI, pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menko Perekonomian, Hatta Rajasa dan Menteri ESDM, Jero Wacik hanya menekankan kepada pemberian kompensasi bagi keluarga korban tanpa menindak tegas PT. FI.
JATAM juga menilai bahwa keselamatan rakyat bukanlah merupakan sebuah investasi bagi kepentingan kalangan tertentu saja. Laporan Komas HAM kali ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang selalu melindungi kepentingan pertambangan.
Menurutnya, sudah saatnya pemerintah menindak tegas dan memberi efek jera bagi perusahaan tambang perusak lingkungan dan pelanggar HAM lainnya.
“JATAM mendukung penetapan Komnas HAM yang menyatakan Freeport telah melakukan pelanggaran HAM berat dalam kasus longsor Big Gossan. Kami juga menuntut kepada semua pihak untuk menindak tegas Freeport serta menghentikan segala bentuk operasi pertambangan Freeport hingga Freeport bertanggungjawab secara hukum,” tegas Ki Bagus Hadi Kusuma, Juru kampanye JATAM. (PR)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...