Jelang Pilkada, Ada Kampanye Hitam Bernada SARA di Surakarta
SURAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menjelang pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak muncul kampanye bernada sentimen suku, ras, dan agama (SARA), juga di Surakarta.
Salah satunya beredar di media sosial Facebook, Senin (7/12). Foto beberapa orang menggelar spanduk bertuliskan “Wali Kota harus Muslim – Elemen Muslim Surakarta”. Sewaktu ditanya satuharapan.com, pengunggah foto itu mengaku mengambil dari situs panjimas.com tentang kegiatan Forum Diskusi Lintas Gerakan Mahasiswa Islam Solo yang diselenggarakan akhir November lalu tentang kepemimpinan Muslim.
Dalam pilkada serentak ini di Surakarta terdapat dua pasangan calon. Yaitu: Pasangan nomor urut satu Drs Anung Indro Susanto MM – Muhammad Fajri. Mereka dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Gerindra. Sedangkan, pasangan nomor urut dua adalah FX Hadi Rudyatmo – Dr H Achmad Purnomo Apt yang dicalonkan PDI Perjuangan.
Dari empat orang yang dicalonkan, Rudy—panggilan akrab FX Hadi Rudyatmo—yang bukan Muslim. Wakil Wali Kota semasa Presiden Joko Widodo menjabat sebagai wali kota itu adalah penganut Katolik. Setelah Jokowi—panggilan akrab Joko Widodo—menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia diangkat menjadi wali kota. Sebagai wali kota, Rudy dikenal akrab dengan masyarakat miskin dan melanjutkan program-program Jokowi.
Komentar Wahid Institute
Dr Rumadi Ahmad, peneliti di Institute mengomentari kampanye hitam model ini. “Sebagai aspirasi sih tidak apa-apa. Tetapi, tidak boleh memaksakan kehendak karena aturan bernegara adalah konstitusi yang tidak melarang non-Muslim untuk menjadi pejabat publik, termasuk wali kota,” katanya kepada satuharapan.com.
Komisioner Komisi Informasi Pusat ini menegaskan, “Kalau tidak mau memilih yang non-Muslim silakan saja. Ajukan calon yang kompeten dan bersih. Namun, kita tidak boleh melarang non-Muslim untuk dicalonkan sebagai wali kota.”
Pendapat PGI
Mengingat peristiwa ini juga bisa terjadi di kalangan orang Kristen, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia juga mengeluarkan seruan pastoral. Pdt Albertus Patty kepada satuharapan.com mengatakan bahwa PGI sudah menyatakan agar masyarakat mampu bersikap kritis terhadap politik sektarian dan primordialistik baik atas nama sinode gereja, agama, marga, atau etnis. Masyarakat harus mampu memilih secara rasional, bukan memilih berdasarkan pertimbangan emosional.
Lebih lanjut, pendeta di GKI Maulana Yusuf Bandung ini mengatakan, “Masyarakat harus mampu memilih kandidat yang mampu memimpin daerahnya, memiliki track record yang baik, yang berwawasan kebangsaan, dan mengimplementasikan konstitusi bangsa.”
Menurut salah satu Ketua PGI ini, gereja dan lembaga agama mana pun harus berperan dengan memberikan edukasi kepada umat agar mampu memilih kandidat yang memiliki integritas. Gereja jangan ikut-ikutan berpolitik praktis dengan memihak salah satu kandidat.
“Juga, jangan biarkan gedung gereja dijadikan langsung atau tidak langsung sebagai arena kampanye salah satu kandidat. Sebaliknya, gereja dan umat beragama lain harus mengawasi jalannya pilkada agar terhindar dari politik sektarian, primordialistik, dan politik uang,” katanya. “Gereja dan lembaga umat agama lainnya harus menjaga agar pilkada ini berlangsung dengan aman, dalam kegembiraan, dan kejujuran,” Pdt Berty menegaskan.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...