Jelang Tahun Politik 2019, Netralitas RRI Dipertanyakan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Seperti juga negara-negara lain, Indonesia memiliki media penyiaran publik yang biaya operasionalnya dipenuhi sebagian atau keseluruhan oleh dana dari pajak. Menjelang tahun politik 2019, posisi media penyiaran publik ini dipertanyakan netralitasnya.
Lembaga penyiaran seperti BBC di Inggris, ABC di Australia dan VOA di Amerika Serikat, sebagian atau seluruh dana operasionalnya diperoleh dari negara. Dana itu tentu saja dihimpun dari para pembayar pajak. Di Indonesia, kita mengenal lembaga penyiaran TVRI dan Radio Republik Indonesia (RRI), yang posisinya tidak jauh berbeda.
Sering muncul pertanyaan, apakah BBC atau VOA dapat menjadi media yang independen, ataukah hanya menjadi corong kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa?.
RRI Yogyakarta bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta mendiskusikan persoalan itu, Selasa (18/9) di kampus setempat. Persoalan ini menjadi penting sekali, karena Indonesia akan menghadapi tahun politik 2019.
Dekan FISHUM UIN Sunan Kalijaga, Dr Mochamad Sodik mengingatkan bahwa sebagai lembaga penyiaran publik, RRI memiliki etika publik. Dalam kaitan ini, kualitas siaran RRI harus disertai dengan pertanyaan apakah isi siaran itu relevan dengan kehidupan sosial pendengarnya. RRI juga harus berorientasi pada akuntabilitas, transparansi dan netralitas. Sodik meyakini, RRI dengan pengalamannya sejak era kemerdekaan, mampu menjaga orientasi itu.
“RRI harus mampu menjadi model di dalam ruang publik di mana sebagian masyarakat sudah terbelah. Kami yakin RRI bisa karena mengemban amanat kebangsaan, maka proses kebudayaan ini bisa dijaga,” ujar Mochamad Sodik.
“RRI menjadi bagian penting dalam hal ini. Komitmen inilah yang harus dijaga karena kepercayaan publik begitu tercederai akan menjadi masalah. Oleh karena itu, netralitas itu harus terus dijaga dan diadaptasi,” katanya.
Karena jaringannya yang luas, RRI memiliki basis pendengar hingga ke pelosok Indonesia.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia DIY, Agnes Dwi Rusdiati, mengaku memiliki pengalaman langsung mengenai hal itu dalam kunjungan ke berbagai wilayah. Agnes percaya, mayoritas masyarakat masih menilai apa yang disampaikan oleh RRI melalui siarannya masih bisa dipercaya publik dibandingkan dengan media penyiaran lain. Namun, dalam posisi inilah RRI sebagai radio publik memiliki tantangan berat terkait independensinya. Tidak hanya independen, RRI juga harus edukatif bagi pendengar, agar mampu turut menciptakan masyarakat yang bersatu dan toleran.
“Saat ini masyarakat mudah terbelah dengan berbagai pilihan yang berbeda. Tanggung jawab RRI merekatkan itu melalui siaran dan informasi yang edukatif bagi masyarakat,” kata Agnes.
“Termasuk RRI harus mampu menjadi radio yang terus menyuarakan persatuan, keberagaman, toleransi di tengah situasi masyarakat seperti ini. Kita berharap informasi dari RRI mampu menjawab persoalan yang selama ini bergulir di publik secara liar,” ujar Agnes menambahkan.
Dosen Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Muzayin Nazaruddin, mengingatkan bahwa RRI memiliki masalah mendasar yang belum selesai, yaitu undang-undang yang menaunginya.
Dalam prosesnya di DPR dan pemerintah yang sudah sekian lama terus terjadi tarik menarik, karena kepentingan yang menyelimuti posisi strategis RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran. Muncul perdebatan, dimanakah posisi RRI, apakah di bawah sebuah kementerian ataukah semacam badan usaha milik negara, atau dalam posisi lain yang lebih independen.
Secara khusus, Muzayin menyoroti kiprah RRI pada tahun politik mendatang. Di tengah media lain yang dimiliki oleh tokoh-tokoh berafiliasi politik, RRI punya peluang menjadi lebih independen. Namun, kata Muzayin, independensi dan netralitas adalah barang mewah di tahun politik. Muzayin mengistilahkan pemberitaan yang netral sebagai harta karun jika bisa ditemukan dalam situasi saat ini.
“Semakin hari, semakin banyak pemilik media yang terjun ke ranah politik dan akan susah untuk independen ketika pemiliknya menjadi partisan pada partai politik tertentu,” kata Muzayin.
“Di titik inilah, RRI punya peluang dan kesempatan besar untuk menempatkan dirinya menjadi media yang independen, menyajikan berita yang netral. RRI punya kesempatan besar menyajikan barang mewah itu. Saya meyakini RRI bisa kalau mengaca pada Pemilu 2014,” katanya.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY, Sihono HT, juga mengingatkan posisi RRI secara kelembagaan yang belum selesai itu menjadi beban besar. Tidak seperti lembaga penyiaran publik negara lain yang sudah sejak puluhan tahun lalu posisinya mantap. Dalam isu-isu semacam inilah, kata Sihono, RRI perlu membawa peran serta publik lebih besar untuk ikut memecahkannya.
“Sebagai lembaga peyiaran publik saya berharap partisipasi publik harus diperhatikan betul. Dalam diskusi di Rumah Perubahan mengenai draf akademis RUU RTRI, itu ada masukan soal Dewan Khalayak yang bisa memberikan kontribusi kepada RRI dan TVRI,” kata Sihono.
“Saya kira ini perlu dikuatkan lagi agar peran publiknya benar-benar terasa. Apa artinya lembaga penyiaran publik tetapi meninggalkan publik?,” kata Sihono mempertanyakan.
RRI sendiri, sebagaimana TVRI, pada masa lalu memang diidentikkan dengan media pemerintah yang bertugas memberitakan hasil pembangunan tanpa kritik sama sekali. Namun, Kepala Stasiun RRI Yogyakarta, Salman menegaskan, kondisi itu kini sudah tidak terjadi.
“Dulu, sewaktu saya masih jadi reporter RRI, kalau pemerintah maunya begini, ya begini. Tetapi sejak reformasi, tidak ada lagi yang melakukan intervensi terhadap siaran RRI,” ujar Salman.(VOA)
Editor : Melki Pangaribuan
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...