Studi: Pemberitaan Media Siber Masih Banyak Eksploitasi Konflik
SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – Isu keberagaman kerap menjadi berita utama media di Indonesia, terutama media siber atau berbasis internet, demikian hasil penelitian yang dilakukan Universitas Tarumanegara, Jakarta, pada tahun 2017 dan 2018.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara, Jakarta, yang juga Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Ahmad Junaidi, mengatakan konflik di tengah masyarakat, khususnya terkait keberagaman, mencapai 45 persen dari seluruh topik pemberitaan.
“Dari sisi konten kelihatan, kontennya masih fokus pada konflik, kalau ada konflik misalnya isu-isu keberagaman. Lebih banyak konflik, sementara misalnya perayaan agama, terus hubungan antara agama, pemeluk agama itu agak di bawah. Paling tinggi konflik. Mungkin ini terkait misalnya orang, reporter, masih senang pada bad news is good news.”
Dia menambahkan, tingginya pemberitaan mengenai konflik sebenarnya tidak menjadi persoalan, namun informasi lain tentang penyelesaian konflik atau kerja sama yang mempererat hubungan antarmasyarakat misalnya, perlu juga lebih banyak diberi ruang. Junaidi menilai banyak berita tidak memenuhi kaidah jurnalistik maupun panduan media siber.
“Dari sisi verifikasi, hampir 48 persen beritanya berita tunggal, tidak ada cover both sides. Itu boleh sebenarnya di panduan media siber, tapi harus ada berita lanjutannya yang meng-counter, atau sisi yang berikutnya, yang lainnya, itu yang banyak kita tidak temukan lanjutannya. Tidak ada, satu saja,” katanya.
Pemberitaan yang berimbang dan memuat suara pihak yang tidak mampu bersuara, masih menjadi sesuatu yang jarang ditemukan dalam pemberitaan media siber di Indonesia saat ini. Dibandingkan pelaku atau pihak yang memiliki kekuasaan, para korban atau kelompok terpinggirkan kerap tidak mendapat ruang untuk bersuara.
Manajer Program Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Tantowi Anwari menyerukan kepada wartawan dan media dimana wartawan bekerja, untuk memberikan ruang lebih besar bagi korban maupun kelompok minoritas yang tidak mampu bersuara, agar keberagaman di Indonesia tidak dikalahkan oleh kelompok atau pihak yang menghendaki penguasaan atas kelompok minoritas atau yang terpinggirkan.
“Ada kepedulian, ada upaya untuk memberikan banyak ruang lagi terhadap para korban terutama di kalangan minoritas, yang base-nya adalah keyakinan atau agama, dan gender serta orientasi seksual yang berbeda,” kata Tantowi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), berharap dapat menghadirkan perspektif keberagaman bagi jurnalis dan media massa.
Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl mengatakan, pembekalan dan pelatihan meliput tema atau topik khusus seperti isu keberagaman harus diberikan oleh perusahaan media kepada wartawan, agar mampu menghasilkan tulisan atau karya jurnalistik berperspektif pada isu keberagaman.
“Apakah banyak media, terutama media-media yang mainstream itu memberikan pelatihan-pelatihan yang cukup mumpuni bagi jurnalisnya, misalnya pelatihan pedoman peliputan peristiwa traumatik, pedoman peristiwa peristiwa anak-anak, pedoman peliputan peristiwa bencana, pedoman peliputan lain-lain. Nah, apakah jurnalisnya sudah diberikan pengetahuan yang cukup luas, sehingga ketika dia terjun ke lapangan mereka memiliki perspektif," kata Miftah.
Ia menambahkan, "Saya lihat (perspektif) ini tidak ada, jadi wartawan ini fresh graduate, tidak punya bekal yang cukup kuat, dilempar ke lapangan, kemudian mereka meraba-raba sendiri, dan akhirnya banyak sekali distorsi informasi yang diterima masyarakat, karena apa, abainya perusahaan media itu mendidik atau memberikan pengetahuan, atau knowledge kepada jurnalisnya,” katanya. (Voaindonesia.com)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...