Jimly Usul Umur Hakim Minimal 40 Tahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengusulkan umur minimal untuk mendaftar menjadi hakim 40 tahun.
"Semakin tua seseorang, semakin matang dalam memutuskan," kata Jimly dalam seminar Manajemen Hakim sebagai Pejabat Negara di Komisi Yudisial Jakarta, Selasa (9/9).
Jimly mengatakan dengan batas umur minal 40 tahun, umur pensiun juga ditambah menjadi 70 tahun seperti hakim agung. "Jadi umur pensiunnya disamakan dengan hakim agung," ujar Jimly.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini juga mengingatkan bahwa hakim sebagai pejabat negara sudah tidak boleh lagi berlogika seperti PNS.
Jimly menegaskan bahwa kemerdekaan hakim dalam memutus tidak boleh lagi dipengaruhi berbagai masalah yang mempengaruhi indenpendensinya, seperti masalah rekrutmen, jenjang karir dan berbagai masalah administrasi lainnya.
Dia menilai peraturan perundang-undangan di Indonesia belum bisa menyelesaikan masalah yang ada, dimana UU nomor 35 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebut hakim sebagai pejabat negara tidak diikuti pengaturan selanjutnya.
"UU ini hanya melihat sebagai profesionalnya, kekuasaaannya, tetapi belum membicarakan strukturnya," kata Jimly.
Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi mengakui bahwa saat ini sudah diakui sebagai pejabat negara, namun masih bercitra rasa sebagai PNS.
"Harus ada peraturan undang-undangan yang mengatur pengajian hakim, karena saat ini masih mengacu pada ketentuan yang ada (aturan PNS)," katanya.
Suwardi juga mengungkapkan bahwa saat ini MA dan KY saat ini membahas untuk membentuk peraturan bersama terkait rekrutmen hakim yang menyesuaikan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.
"Sudah empat tahun MA tidak melakukan rekrutmen hakim dan saat ini sedang dibahas pembentukan peraturan bersama," katanya.
Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) Deddy S Bratakusumah mengakui sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung, maka Kemen PAN tidak berhak kembali untuk mengatur tentang rekrutmen, sistem jenjang karir, dan penggajian hakim.
"Sejak terbitnya PP 94 ini memang menimbulkan masalah yang harus kita selesaikan. PP 94 sudah jelas terpisah, tapi masih mengadopsi PNS," kata Deddy.
Untuk itu, lanjutnya, pihaknya berharap Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bisa menyelesaikan masalah ini dalam waktu dekat.
"Kami siap jika dilibatkan dalam membahas aturan bersama yang membicarakan rekrutmen dan penggajian hakim," katanya. (Ant)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...