“Jogja Cross Culture 2020”, Rintisan Menuju Kota Budaya Dunia
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setelah selama dua hari menggelar beberapa kegiatan sebagai rangkaian presentasi pilot project Jogja Cross Culture, bertempat di Kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Minggu (4/8) malam, secara resmi diluncurkan program Jogja Cross Culture (JCC) 2020.
Program JCC 2020 diluncurkan oleh Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Purwadi beserta jajarannya, diawali dengan pementasan Historical Orchestra Selaras Juang, peluncuran dua program Gandhes Luwes dan Jenang Golong Gilig sebagai bagian dari road to Jogja Cross Culture 2020.
Setelah deklarasi JCC 2020 yang dipimpin Wakil Wali Kota Yogyakarta, pilot project JCC diakhiri dengan penampilan Cross Culture Performance réUnèn dengan menampilkan perjalanan dunia musik di Yogyakarta dalam penampilan kolaborasi orkestra, gamelan, serta musik pengiring bregada/prajurit Keraton Yogyakarta dalam periodisasi waktu: periode Keraton, periode pra-kontemporer, periode kontemporer, dan periode folklore.
Selama dua hari, 3-4 Agustus pilot project JCC menghadirkan beberapa program di beberapa tempat. Pada hari pertama, Sabtu (3/8) digelar JamFest atau Festival Jamu yang digelar di utara Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, diikuti oleh 12 stan yang berasal dari warga kecamatan-kecamatan Kota Yogyakarta. Malam harinya lima dalam anak-remaja mementaskan Wayang Kota dengan lakon Kancingjaya menghadirkan kolaborasi Wayang Ukur yang dimiliki oleh maestro Wayang asal Kota Yogyakarta, Sigit Sukasman, dengan lima dalang yang lahir dari generasi milenial.
Hari kedua pilot project JCC dihelat historical trail dalam tema Jeron Journey, Jogja Sketsa bersama Maestro, pementasan keroncong Paramuda, dolanan bocah, serta flash mob di ruas jalan kawasan Titik Nol Km Yogyakarta. Untuk program flash mob diperkenalkan istilah baru Joged Jalar dengan mengangkat tajuk Jog Jag Nong.
“Pada tahun ini kami membuat pilot project Jogja Cross Culture sebagai bagian dari upaya kita untuk menampilkan kekayaan budaya yang ada di Yogyakarta. Yogyakarta dikenal dengan seni-budaya tradisi adiluhung. Tetapi di Yogyakarta juga tumbuh seni-budaya yang merupakan perkawinan-persinggungan dari nilai seni tradisi lokal dari nusantara maupun manca negara. Pada tahun ini mungkin kita belum bisa maksimal karena masih belum bisa merangkul seluruh seniman-budayawan. Pada tahun-tahun mendatang kami bertekad membuat Jogja Cross Culture menjadi lebih baik lagi (dengan merangkul banyak pihak),” jelas Heroe Purwadi saat meluncurkan program Jogja Cross Culture 2020, Minggu (4/8) malam.
Cross Culture, Upaya Yogyakarta menuju Kota Budaya Dunia
Dalam sambutan peluncuran program JCC 2020 Heroe Purwadi memberikan tekanan pada seni (rupa-pertunjukan) untuk masuk dalam ranah yang lebih luas: budaya-kebudayaan. Pemilihan strategi tersebut cukup menarik dan masuk akal dimana seni menjadi salah satu pintu masuk untuk membaca dan memahami budaya dalam cakupan yang lebih luas.
Dalam perbincangan satuharapan.com dengan sosiolog Universitas Widya Mataram Yogyakarta Puji Qomariyah, beberapa saat sebelum acara pembukaan peluncuran JCC 2020 tentang tumbuh-kembangnya kota dalam perkembangan budaya-kebudayaan, ia mengemukakan, "Kita selayaknya memberikan apresiasi (atas peluncuran program JCC). Ini pilihan (program) yang menarik ketika menjadikan seni adiluhung dengan segala potensinya digunakan untuk membaca budaya dalam skala yang lebih luas. Seni bisa menjadi pintu masuk untuk memahami budaya. Namun harus diingat bahwa seni itu hanya bagian kecil dari budaya yang berkembang pada masyarakat.”
Lebih lanjut Puji Qomariyah menjelaskan tantangan Yogyakarta hari ini membaca realitas yang sedang dan terus berkembang akan semakin kompleks. Sebagai destinasi wisata dan pendidikan yang terus bertumbuh, mobilitas massa, arus informasi, perkembangan teknologi menjadi tidak terhindarkan akan memunculkan budaya-budaya baru yang saling mengait dan bersilangan. Nilai-nilai baru sangat mungkin muncul untuk menggantikan nilai-nilai lama yang masih ada.
Terlebih realitas hari ini perkembangan informasi-teknologi yang begitu masif menempatkan manusia dalam realitas-realitas yang tidak jarang justru bertolak belakang. Paling sederhana ketika pola pikir manusia saat ini dalam dunia digital yang bisa melaju begitu cepat dalam hitungan detik, di sisi lain manusia beraktivitas secara fisik dalam dunia analog menempatkan relasi antarmanusia yang mengalami perubahan drastis.
“Perjumpaan dalam ruang perjumpaan (fisik) suatu saat mungkin juga akan mengalami perubahan pola. Ini menarik, dimana posisi seni-budaya adiluhung akan menempati posisinya ketika tuntutan perubahan justru mengarah bagi tumbuhnya budaya profan ketika ruang perjumpaan bisa mewujud dan perkembangan teknologi mampu menyediakannya? Dengan mendeklarasikan Yogyakarta sebagai Kota Budaya Dunia, Yogyakarta memiliki pekerjaan rumah yang tidak mudah. Tantangannya akan terus muncul setiap waktu. Ini harus mendapat dukungan dari seluruh para pihak (stakeholder). Efektivitas-efisiensi akan menjadi salah satu ukuran relasi yang terbentuk antarmanusia. Dan memperbincangkan budaya, kita sedang berbicara tentang samudra kehidupan manusia itu sendiri,” papar Puji Qomariyah.
Ia menjelaskan, pertemuan-perjumpaan antarelemen masyarakat di Yogyakarta relatif masih berlangsung secara intensif sehingga memungkinkan memberikan warna bagi kehidupan serta memacu terbangunnya dialektika di masyarakat. Namun, pada sisi lain, keterbatasan ruang fisik terutama di pusat-pusat kota Yogyakarta pada saat bersamaan pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatkanya aktivitas manusia di atasnya, meningkatnya mobilitas manusia beserta entitas yang menyertainya akan sangat mungkin mendorong munculnya budaya-budaya baru dan pragmatis dalam memaknai ukuran efektif-efisien. Keterbatasan ruang fisik dengan nilai ekonomi yang tinggi di Yogyakarta pada gilirannya menjadi wilayah “perebutan” sumber daya bagi banyak pihak.
“Contoh kecil kemacetan akibat menumpuknya kendaraan bermotor di pusat kota pada jam-jam tertentu atau hari-hari tertentu (akhir pekan, musim liburan) akibat keterbatasan panjang-luas jalan serta area perpakiran menjadi pemandangan akhir-akhir ini di Yogyakarta. Pemerintah sudah berupaya menyediakan transportasi umum yang bisa diakses masyarakat untuk agar bisa mengurangi beban jalan raya. Bagaimana dengan masyarakat sebagai pengguna transportasi umum?," ia menggambarkan,
"Jika melihat fenomena kemacetan di Yogyakarta saat ini, belum tumbuh kesadaran bersama menyikapi hal tersebut. Ini baru satu permasalahan. Bagaimana dengan budaya masyarakat memperlakukan sampah? Budaya hemat energi dan sumber daya alam? Budaya antre? Budaya tepat waktu? Masihkah tumbuh sikap guyub dan gotong royong? Mematuhi rambu-rambu dan peraturan lalu lintas? Sikap penghormatan-penghargaan pada pihak lain? Belum lagi perkembangan informasi-teknologi yang akan mengubah cara baca-pandang terhadap realitas hari ini dan hari-hari berikutnya. Ini menjadi permasalahan kita bersama,” ia menambahkan.
Bagaimana meng-cross-culture-kan realitas dunia hari ini dengan kehidupan fisik dalam dunia analog pada saat bersamaan relasi manusia dalam dunia digital telah sampai pada fase terhubung satu sama lain tanpa dibatasi ruang-waktu ke dalam realitas kehidupan masyarakat? Rintisan Jogja Cross Culture bisa menjadi embrio penting membuka ruang dialog manakala terjadinya perjumpaan-perjumpaan berikut ruang-waktunya dalam kualitas dan kuantitas yang memadai.
Budaya adalah produk olah pikir-cipta-rasa manusia dalam memandang ruang hidup dan kehidupannya. Budaya menjadi wujud relasi antarmanusia yang terus berkembang dan berubah sepanjang waktu dan peradabannya. Bagaimanapun pada kota yang humanis, manusia adalah rupa kota itu sendiri. Budaya dan kota tidak akan tumbuh dalam perjumpaan warganya yang tuna ruang perjumpaan dan tuna perjumpaan yang hangat dalam berbagai aras-arah.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...