Pameran Trajectory Karya I Nyoman Sukari di Taman Budaya Yogyakarta
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 50 lukisan, 13 drawing di atas kanvas, 35 sketsa, 29 drawing di atas kertas, serta 11 karya dua matra dalam medium campuran karya mendiang seniman-perupa I Nyoman Sukari, dipamerkan di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Karya-karya itu dipinjam dari koleksi Museum OHD-Magelang, koleksi Lin Che Wei (kolektor dan pendiri Sarasvati Art Management), serta koleksi keluarga Nyoman Sukari. Pameran yang merupakan kerja sama Sanggar Dewata Indonesia (SDI) dengan Museum OHD dan majalah Sarasvati itu dibuka oleh guru besar emeritus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta I Made Bandem, Jumat (26/7) malam.
Pameran bertajuk Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari itu menjadi pameran tunggal kedua karya I Nyoman Sukari. Selama hidupnya Sukari mengikuti 118 pameran, dan hanya satu pameran tunggal yang digelarnya, selebihnya Sukari berpameran bersama secara duo ataupun bersama kelompoknya: Spirit 90, Kelompok 11, SDI.
Di kalangan teman satu angkatan di jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta tahun 1990, Sukari termasuk salah satu mahasiswa yang menonjol dengan lukisan gaya ekspresionisnya. Pada masa itu seni lukis Indonesia masih didominasi dengan gaya realis-surealis. Kehadiran Sukari membawa gaya ekspresionis melalui sapuan kuas (brush stroke) yang kuat, dengan menggali akar tradisi Bali di tengah dunia seni rupa yang sedang gandrung pada realis-surealis, sedikit banyak mencuri perhatian bahkan memberikan pengaruh perkembangan dunia seni rupa Indonesia saat itu.
Setidaknya pengaruh tersebut dirasakan oleh teman-teman satu angkatannya di ISI Yogyakarta. Bersama kelompok angkatan 1990 yang dikenal dengan Spirit 90, selain menonjol Sukari sekaligus menjadi perekat bagi teman-teman satu angkatannya.
“Sukari itu tipe orang yang mudah bergaul. Dia bisa masuk ke banyak kelompok bahkan lintas angkatan di atasnya. Darah seninya yang mengalir memberikan warna pada karya-karyanya. Dia pendalang dan penari yang berbakat. Bakat-bakat itu dia bawa ke dalam karya-karya lukisannya. Silakan cermati karya-karya yang berhubungan dengan seni pertunjukan, di situ akan terasa jiwa yang menyatu,” M Basori, teman satu angkatan Sukari, menjelaskan kepada satuharapan.com, Jumat (2/8).
Pada tahun 1994 bersama Spirit 90, Sukari berpameran bersama di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM (saat itu masih bernama Purna Budaya). Pameran tersebut menjadi fenomenal, dimana pameran angkatan yang dihelat oleh mahasiswa mampu menarik perhatian dunia seni rupa Indonesia kala itu, termasuk kolektor karya seni Oei Hong Djien (OHD).
Pameran yang dibuka oleh pengusaha pemilik waralaba makanan cepat saji Bambang Rachmadi diikuti 24 anggota Spirit 90 dengan masing-masing mahasiswa memamerkan 3-4 karya, separuh lebih karya diborong oleh Bambang Rachmadi saat pembukaan pameran. OHD yang datang pada hari kedua pameran ‘hanya’ kebagian sekitar sepuluh lukisan.
“Kekuatan karya Sukari sudah terlihat saat itu. (Salah satunya bisa dilihat dari) harga karyanya berbeda dengan karya teman-teman lainnya, dihargai dua kalinya (oleh Bambang Rachmadi),” kata Basori.
Dalam pameran Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari, karya-karya Sukari disajikan dalam beberapa skema untuk memberikan gambaran lintasa waktu berkaryanya (trajectory).
Dimulai series Bhuta Yadnya yang merupakan bagian dari tugas akhir Sukari saat menyelesaikan studinya di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta. Karya series Bhuta Yadnya dibuat Sukari dalam rentang 1994-1996.
Tiga ruang dibuat khusus untuk menyajikan karya Sukari dalam tematik yang berbeda yaitu series Berburu, series Trunyan, dan satu ruang yang menampilkan karya sketsa dan drawing Sukari dalam berbagai medium, sementara pada ruang pamer utama disajikan karya Sukari dalam urutan lini masa sejak tahun 1990 dengan karya berjudul Penjaga Mandara Giri hingga perjalanan berkarya on the spots di Kamboja pada tahun 2007 dalam karya berjudul Angkor Wat I-II.
Sebagai sebuah tarjectory, pameran Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari menyajikan informasi yang cukup lengkap dalam tiga lintasan: lintasan awal berkarya masa kecil hingga lulus dari sekolah di SMSR Sukawati-Denpasar, lintasan fase Yogya pertama saat pertama kali ke Yogyakarta hingga menyelesaikan studinya di ISI Yogyakarta, serta lintasan fase Yogya kedua.
Turut dipamerkan pula 12 drawing di atas kanvas yang dibuat Sukari pada tahun 2008-2009 dan belum pernah diperlihatkan kepada masyarakat umum sebelumnya. Dua karya videografi bisa memberikan informasi tambahan penting terutama sebuah karya video yang diambil secara diam-diam oleh satu temannya saat Sukari sedang membuat lukisan sekitar tahun 2003 di studionya di Bali.
“Konteks dari pameran ini kita bisa mendapatkan karya Sukari dari periode 1990 sampai menjelang dia meninggal dalam satu perjalanan karya. Itu yang coba kita sajikan pada pameran di sini. Pameran ini juga ingin menyampaikan pesan bahwa di Indonesia itu banyak seniman-perupa yang baik (karyanya). Namun karena tidak mendapatkan pengalaman-kesempatan untuk menunjukkan, atau audiens tidak mendapat kesempatan untuk melihat (karya-karyanya) sebagai satu kesatuan dari cerita, sehingga banyak sekali seniman-perupa yang tidak tampil secara lengkap. Pameran (anumerta) Sukari mencoba untuk menunjukkan perjalanan hidup seorang seniman dan pengaruhnya secara lengkap,” jelas Lin Che Wei founder Sarasvati Art Management kepada satuharapan.com beberapa saat sebelum pameran dibuka, Jumat (26/7) sore.
Pameran bertajuk Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari yang digelar di ruang pameran Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sriwedani No 1 Yogyakarta, berlangsung hingga 12 Agustus 2019.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...