Jokowi adalah Kita (?)
SATUHARAPAN.COM – Hiruk-pikuk dukung sini-dukung sana telah menyesak-desak di paru-paru media publik. Pertanda bagus. Animo masyarakat atas makhluk ambigu bernama “politik” kian kencang. Sekaligus, antusiasmenya seumpama terompet tahun baru yang berbunyi setiap hari. Tiada lagi niat menjejal-jejalkan bisik-bising yang telah tiba pula di titik jengah.
Salah satu antusias rakyat terlihat dari sekian banyak spanduk kampanye mengatasnamakan para pendukung sukarela calon tertentu terpampang di pinggir-pinggir jalan. Sebagian spanduk memiliki pesan yang penuh janji-janji. Sebagian lagi menggelitik. Sebagian “melampaui” nalar. “Jokowi adalah Kita,” sejarik spanduk berteriak. Hanya tiga kata: singkat, mudah diingat, lugas, dan jelas. Sepotong kain telah diberi tujuan lain. Kain itu bersuara. Suara melisankan kata. Kata menyeret logika. Kita kenal istilah Logos: menunggalnya (bukan meninggalnya) kata dan logika.
“Jokowi adalah Kita.” Pesan itu menunjukkan kelaikan sebuah spanduk kampanye. Sebagai slogan, pesan itu juga sangat laik dan memadai. Namun, ada yang kurang pas dipandang dari sudut “non-slogan.” Ini bukan “kampanye gelap.” Saya adalah pendukung Jokowi. Mendukung satu tidak mesti membanting yang lain. Dukungan yang sehat bersifat cerdas, kritis, dan etis.
“Kita” adalah sebuah ruang yang plastis dan elastis. Tetapi, ruang juga eksis oleh batas. Kala batas sirna, ruang ti-ada. Kita ada, karena non-Kita ada. Atau, Kita ada maka non-Kita ada. Kita mengajak yang satu sekaligus menolak yang lain. Kita ialah (sekumpulan) aku-aku. Proses mengaku-aku berarti suatu kegiatan berkesinambungan untuk mereduksi, mengabsorbsi, menyimplifikasi, dan mengategorisasi yang di luar Aku. Dia disama-samakan secara semena-mena dengan Aku.
Aku adalah sebuah Lubang Hitam. Dia ti-ada yang mengada. Ketiadaan sekaligus keberadaan. Dia tiada dengan terus mengunyah-unyah yang lain. Bayangkanlah sekumpulan Lubang Hitam! Saya menyebut imaji itu sebagai Kita. Ya, lubang-lubang yang eksis.
Upaya memasukkan Liyan ke dalam lubang (sudah) merupakan tindakan kekerasan, menurut Emmanuel Levinas. Yang Lain menyingkapkan autentisitasnya sendiri, yang disebut Levinas dengan istilah “wajah.” Persepsi dan pengertian Aku tentang Liyan niscaya bukan Liyan itu sendiri. Pemahaman tidak pernah menjadi penampakan. Pengertian senantiasa menjebloskan Liyan ke dalam Aku. Wajah adalah ephifani dari Yang Tak Terbatas. “Signifikasi tanpa konteks,” ujar sang filsuf. Dia terluput dari segala daya pemaknaan eksistensial.
Wajah Liyan menyeruakkan makna an sich, sekaligus memboyakkan Kita. Liyan ialah jejak yang tak pernah final. Ruang Kita terlampau sempit bagi Yang Lain. Wajah Liyan menolak untuk dibatasi oleh Kita. Setiap perjumpaan dengan orang lain selalu memunculkan sesuatu yang baru, karena wajah adalah jejak dari Yang Tak Terbatas. Setiap kali pula perjumpaan itu mendorong suatu situasi etis yang baru. Sebaliknya, upaya mengabsorbsi Yang Lain ke dalam Kita tidak dapat disebut perjumpaan. Jika perjumpaan tidak terjadi, maka yang terjadi adalah pemaksaan, perkosaan, dan kekerasan metafisis. Di sana Kita menjadi tuna-etis.
Kandang-kandang definisi, kategorisasi, serta logika “ini bukan-itu” adalah sistem berpikir ala Orde Baru. Pola pikir linear itu merembesi ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika.” Bangsa serba ragam dilabeli merek “Tunggal.” Negara mengandaikan batas ialah suatu keniscayaan. Namun, jika batas-batas semakin tegas di dalam “tubuh” sendiri, maka definisi menjadi pisau bedah. Negara adalah meja operasi. Nasionalis adalah Kita. Pancasilais adalah Kita. Komunis bukan Kita. Karena bukan-Kita, maka perlu dimutilasi. Negara menjadi ironi, tragedi, dan elegi, ketika perbedaan menjadi pembedaan, dan pembedaan menjadi pembedahan.
Jokowi adalah Jokowi, bukan Kita. Dia juga bukan “bagian” dari Kita. Sang Liyan tak dapat dibagi-bagi ibarat sebuah apel. “Jokowi adalah Kita,” barangkali ungkapan maksud baik para pendukung. Sembari waspada, Kita kerap berharap pada apel itu: entah Washington entah Malang.
Barangkali “Jokowi adalah Kita” ialah suatu keberanian berharap lagi. Negeri ini telah melintasi sejarah politik “jauh panggang dari api.” Ada jurang tak terseberangi antara janji politik(us) dengan realitas politik. Apatisme politik pun merebak di benak rakyat. Kini, secercah harapan bersinar di tengah ketakacuhan itu. Seketika pula rakyat kembali berharap. Gempita politik bergema di mana-mana.
Harapan Kita tidak tergantung pada motif-motif “buah apel” tertentu. Kesejahteraan rakyat adalah sauhnya. Sekalipun kenyataan nanti jauh dari angan-angan tentang apel. Keberanian berharap mesti dibarengi keikhlasan. Sikap luwes yang meluaskan Liyan, Jokowi, atau siapa saja, untuk tampil autentik. Keikhlasan pula akan menjernihkan harapan, sehingga Kita tidak sekonyong-konyong mencampakkan setelah mengikhtiarkan.
Jokowi bukan Kita. Ruang gerak Jokowi bisa Kita. Tapi, bukan Kita yang rigid dan sempit, melainkan yang terbuka dan belum selesai. Kita yang seluas-luasnya mungkin adalah Negara. Sebuah lema, yang juga belum, dan tidak boleh final. Karena Jokowi bukan Kita, maka Kita dapat mendukung Jokowi. Dukungan ada, karena jarak ada. Jarak juga memungkinkan rakyat mengawasi, mengawali, dan mengantisipasi jalan pemerintahan dan beragam kemungkinan ke depan.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...