Ramadan dan Pilpres 2014
SATUHARAPAN.COM - Puasa Ramadan kali ini terasa spesial karena di dalamnya akan dilangsungkan juga pemilu presiden RI pada 9 Juli 2014.
Sekiranya puasa bagi umat Islam merupakan ruang penggemblengan diri secara spiritual, maka banyak orang berharap bahwa pilpres akan berlangung tenang dan damai. Sebab, ciri orang berpuasa bukan hanya berupa perut yang tak kemasukan makanan dan minuman, melainkan juga berpuasanya seluruh tubuh dari aktivitas dosa dan kejahatan. Kampanye hitam dan fitnah tak akan dilakukan oleh orang yang sedang menjalankan puasa Ramadan. Dengan puasa Ramadan kiranya media sosial seperti facebook dan twitter akan sarat pesan religius dan kian kosong dari cacian kepada pasangan capres-cawapres. Orang berpuasa sambil tetap memfitnah, maka puasanya akan sia-sia. Nabi bersabda, “banyak orang berpuasa, tapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.
Begitu juga, karena inti puasa adalah pengendalian diri untuk tak memperturutkan hawa nafsu, maka pastilah umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa akan melakukan istikharah (meminta pilihan terbaik kepada Allah) tentang presiden RI yang paling manfaat dan maslahat buat Indonesia sekarang. Karena itu, pilihan seorang berpuasa atas pasangan capres-cawapres X dan penolakannya pada pasangan capres-cawapres Y tak didasarkan pada dorongan hawa nafsu, melainkan pada permenungan dan pemikiran mendalam setelah “dikonsultasikan” kepada Allah melalui sejumlah ritual ibadah di dalam puasa.
Dengan demikian, sekiranya demokrasi merupakan fasililitas yang disediakan dunia modern untuk mengangkat sekaligus memberhentikan seorang pemimpin-presiden, maka puasa akan memberikan dorongan moral dan daya imperatif untuk menemukan seorang pemimpin-presiden yang ideal. Jika pemilu memberikan layanan teknis untuk mengatur sirkulasi kepemimpinan, maka puasa diharapkan akan memberikan arah etis untuk menentukan pemimpin yang dibutuhkan. Di sinilah letak pentingnya pilpres 2014 berkoeksistensi dengan puasa Ramadan 1435 H.
Pertanyaannya, presiden seperti apa yang akan menjadi pilihan kita? Tak sulit bagi umat Islam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu, apalagi jika diacukan pada al-Qur’an al-Karim. Pertama, seorang pemimpin--seperti diteladankan Nabi—adalah orang yang santun. Allah berfirman dalam QS, Ali Imran [3]: 159, “fabima rahmatin min Allah linta lahum wa law kunta fazhzhan ghalidha al-qalbi lanfadhdhu min haulik” (Maka berkat kasih sayang Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu).
Tersurat dari ayat al-Qur’an di atas, kesantuanan dan kasih sayang seorang pemimpin adalah niscaya. Seorang pemimpin yang tak memiliki kasih sayang dalam hatinya hanya akan membuat penderitaan warganya. Tentu untuk mengetahui kasih sayang dan kesantunan seorang calon kepala negara tak cukup hanya melalui apa yang dikatakan dalam serangkaian kampanyenya sekarang melainkan justru dari apa yang telah dilakukannya di masa silam. Kesantunan dan kasih sayang Muhammad SAW kepada seluruh manusia tak hanya terjadi setelah beliau diangkat menjadi nabi, melainkan jauh sebelum itu. Sejak belia Muhammad sudah diketahui publik luas sebagai pribadi yang lembut, tidak berhati kasar. Karena itu, mengetahui rekam jejak para capres-cawapres cukup urgen untuk menemukan dan memilih calon pemimpin yang hatinya lembut penuh kasing sayang.
Kedua, para pemimpin yang perlu kita pilih adalah mereka yang sanggup menderita bersama dengan penderitaan rakyat. Kepemimpinan Nabi Muhammad menjadi efektif karena ia--kata al-Qur’an (al-Taubah [9]: 128)--“azizun ‘alaihi ma ‘anittum” (berat terasa oleh Nabi penderitaan yang kalian alami). Ketika umat Islam terkepung dan menderita di Mekah, Nabi Muhammad memerintahkan (sebagian) umat Islam untuk pindah ke Abesinia (Etiopia), sementara Nabi Muhammad sendiri tetap bertahan di Mekah. Ketika turun perintah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad adalah orang terakhir yang hijrah ke sana. Mengambil inspirasi dari kisah Nabi, kita membutuhkan seorang pemimpin yang bisa menyelamatkan seluruh warga negara bukan pemimpin yang hanya mencari keselamatan diri ketika terjadi prahara di dalam negeri. Kita butuh, pemimpin yang merasakan penderitaan rakyat sebagai penderitaannya, kesengsaraan rakyat sebagai kesengsaraannya.
Ketiga, Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (Ali Imran [3]: 28), “la yattakhi al-mu’minuna al-kafirin awliya’ min duni al-mu’minin” (Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir menjadi “wali” dengan meninggalkan orang-orang mukmin). Dengan jelas ayat ini melarang orang beriman untuk mengangkat orang kafir sebagai wali (pemimpin, pelindung, dan teman karib) mereka. Dalam konteks pilpres 2014, tak relevan mengartikan kata kafir dengan orang-orang non- Muslim, bukan hanya karena dua pasangan capres-cawapres 2014 sama-sama beragama Islam melainkan juga karena konteks sosial-politik yang mengitari turunnya ayat tersebut dengan konteks sosial-politik Indonesia sekarang sangat berbeda.
Yang relevan sekarang adalah mengaitkan atau menafsirkan ayat di atas dengan QS, al-Baqarah [2]: 254, “wa al-kafirun hum al-zhalimun” (orang-orang kafir adalah orang-orang zalim). Jika ayat pertama menegaskan bahwa orang mukmin tak boleh mengangkat orang kafir menjadi pemimpin, maka ayat kedua menegaskan bahwa orang kafir itu adalah orang zalim. Demikian kuat penolakan al-Qur’an terhadap orang-orang zalim, Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 193, “fala ‘udwana illa ‘ala al-zhalimin” (maka tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim).
Mengaitkan atau menafsirkan ayat pertama dengan ayat kedua apalagi ayat ketiga, maka kita bisa mengkalkulasi dari dua pasangan capres-cawapres itu mana yang perlu kita pilih. Terang, kita tak boleh mengangkat orang zalim sebagai presiden dan wakil presiden RI. Untuk mengetahui apakah calon pemimpin itu pontesial melakukan kezaliman atau tidak di masa datang, maka cara yang paling mudah adalah dengan menelusuri sepak terjangnya di masa silam. Apakah yang bersangkutan misalnya pernah terlibat dalam soal kejahatan atau tidak. Dengan membaca sejarah para calon pemimpin di masa lalu, paling tidak kita memiliki bekal untuk menentukan pemimpin masa depan.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan 1435 H dan selamat memilih pemimpin dalam pilpres 2014.
Penulis adalah dosen Tetap Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...