Jokowi Diharap Bereskan Pelanggaran HAM Sektor Agraria
“Di era pemerintahan baru Jokowi jadi presiden ini dan sekarang kita datang kembali (ke Jakarta) dan kita harap presiden mengeluarkan keputusan politik, yakni dengan membuat keputusan presiden yang berkaitan dengan konflik kepemilikan tanah rakyat yang menurut hemat kami telah terjadi pelanggaran HAM,” kata Syamsul Hilal, Koordinator Komite Revolusi Agraria (KRA) kepada satuharapan.com, Sabtu (22/11) di Kantor Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Jalan Brawijaya, Jakarta.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya, Jusuf Kalla (JK) diharapkan mampu menuntaskan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di sektor agraria.
“Di era pemerintahan baru Jokowi jadi presiden ini dan sekarang kita datang kembali (ke Jakarta) dan kita harap presiden mengeluarkan keputusan politik, yakni dengan membuat keputusan presiden yang berkaitan dengan konflik kepemilikan tanah rakyat yang menurut hemat kami telah terjadi pelanggaran HAM,” kata Syamsul Hilal, Koordinator Komite Revolusi Agraria (KRA) kepada satuharapan.com, Sabtu (22/11) di Kantor Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Jalan Brawijaya, Jakarta.
Syamsul menegaskan selama bertahun-tahun para petani di berbagai daerah di Provinsi Sumatera Utara dirampas haknya untuk bertahan hidup oleh negara dalam berbagai bentuk. KRA telah melakukan banyak pengumpulan data dari para petani yang sejak jaman orde baru tertindas dan tidak dapat melakukan aktivitas pertanian.
KRA mencatat banyak perampasan lahan dilakukan dengan cara kekerasan yang terkategorikan melanggar HAM.
Syamsul dan KRA membawa 45 petani dari Sumatera Utara ke Jakarta untuk mengadukan nasib pelanggaran HAM ke berbagai instansi, kepada satuharapan.com beberapa petani mengisahkan berbagai konflik agraria yang mereka alami baik dengan PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara) maupun dengan perusahaan swasta yang turut menyerobot lahan pertanian dengan menghalalkan berbagai cara.
Para petani tersebut antara lain Selamat Purwantoro Desa Pangkalan Siata Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, kemudian Sampeniat asal Kecamatan Binjai Selatan. Kemudian ada Burhan dari Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Maliki asal Kabupaten Labuhan Batu, Dahrin Sinaga dari Kelompok Tani Yakarir dari Kabupaten Batubara.
M Said, kelompok Tani Mekar dari Kecamatan Wampu. Targun Sinaga Kelompok Tani Saroha dari Kabupaten Asahan, kemudian ada Teuku Ismail Fauzi dari Kabupaten Langkat, Sama’un berasal dari desa Sialang Muda, Kecamatan Hamparan Perak, dan Kamidi berasal dari Kecamatan Marbo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Para petani menuturkan kepada satuharapan.com satu demi satu, bahwa mereka bermasalah dengan PTPN I hingga IX di Provinsi Sumatera Utara, dan perusahaan swasta lainnya yang mendirikan industri di kawasan pertanian.
Para petani mempermasalahkan cara pengambil alihan lahan pertanian yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan, ganti rugi yang tidak sesuai, dan Hak Guna Usaha yang diberikan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada masa itu dengan mudah kepada para pengusaha industri.
“Kami tetap menuntut tanah-tanah masyarakat yang dicaplok, karena pada saat pengambil alihan lahan tersebut masyarakat diintimidasi untuk melepaskan tanahnya oleh oknum aparat dan preman, intimidasi itu berupa ada pistol di atas meja saat perundingan, dan saya ingat waktu itu tahun 1986 ketika tanah saya diambil (sambil menyebut nama perusahaan swasta). Yang mengherankan kami kenapa perusahaan swasta bisa sepertinya mengatur Pemprov (Pemerintah Provinsi), dan yang kami heran juga kenapa bupati, gubernur seperti tutup mata, dan kepada siapa lagi kami mengadu," kata Selamat Purwantoro, seorang petani kepada satuharapan.com.
"Oleh karena itu, kami berangkat ke Jakarta untuk membawakan aspirasi bahwa 45 petani dengan dokumen lengkap ini hanya sampel, di daerah kami masih banyak petani lain lagi yang berkonflik. Karena dengan kejadian kekerasan seperti itu, kami selama puluhan tahun sudah sabar dan cukup mengalah dan kalau bisa kami akan mengadakan revolusi di Sumatera Utara kalau perlu kami akan angkat senjata,” lanjut Selamat Purwantoro.
“Misalnya sebelum tanah rakyat dirampok negara pada awal orde baru, pasti didahului oleh kekerasan dari pihak aparat yang menangkap, membunuh, dan menghilangkan para penduduk setempat yang sebagian besar bertani. Misalnya di labuhan batu ada desa yang bernama Padang Alaban, di Kabupaten Labuhan Batu Utara saat itu di masa orde baru, saya lupa tahun berapa setidaknya 114 penduduk desa diambil dan dijemput paksa aparat keamanan, sampai sekarang kita tidak tahu dimana makamnya, setelah itu tanah diambil oleh militer diserahkan pada sebuah perkebunan swasta kemudian perkebunan tersebut dikuasai pihak swasta yang menguasai lahan tersebut dengan luas lahan kurang lebih 3300 hektar,” Syamsul menjelaskan.
Syamsul mengungkapkan para petani kecewa karena Kementerian Kehutanan Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahan Nasional seharusnya tahu setiap persoalan yang menyangkut cabang produksinya seperti PTPN yang berkonflik masalah lahan dengan petani.
“Kami kecewa karena mereka selama bertahun-tahun memandang warga dan petani sebagai hama yang harus dibasmi serta disingkirkan bahkan dengan cara cara yang melanggar HAM, perampasan lahan petani praktek kotor yang dilakukan PTPN hanya menguntungkan bagi pejabat PTPN dan pejabat daerah saja,” Syamsul menambahkan.
KRA telah melakukan upaya pendampingan bagi para petani yang telah tiba di Jakarta, pendampingan tersebut, kata Syamsul dengan mengadukan nasib penindasan yang mereka alami ke berbagai instansi.
“Senin (17/11) kami sudah diterima (Komisi) Ombudsman, dan selasa (18/11) kami sudah diterima Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), kemudian Rabu (19/11) sebenarnya kami berencana ke mabes polri bertemu dengan Kapolri (Jend.Pol. Sutarman) tetapi tidak berhasil. Oleh karena itu, langsung saya komunikasi dengan Kadiv Humas (Kepala Divisi Hubungan Masyarakat) Brigjen Pol Ronny Sompie, dia bilang Kapolri tidak mungkin kalau hari Rabu sehingga dia taruh dengan Wakapolri (Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Brigjen. Pol. Baddarodin Haiti),” Syamsul menjelaskan.
Syamsul kecewa karena tidak dapat bertemu Wakapolri, kemudian dia mengajak para petani langsung ke Kementerian Agraria, pada Jumat (21/11) akan tetapi Syamsul dan segenap petani mengalami kekecewaan luar biasa karena saat bertemu dengan Ferry Mursyidan Baldan, Menteri Agraria beberapa saat setelah ibadah shalat jumat di kantor Kementerian Agraria, Ferry menolak menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di sektor agraria.
“Ini kebijakan atau wewenang ada di tangan anda (Ferry Mursyidan Baldan), kok anda malah meminta menyelesaikan masalah ini di medan, harusnya anda menerbitkan keputusan atau kebijakan tentang agraria ini karena keputusan tertinggi ada di tangan anda bukannya dilimpahkan ke daerah lagi kami sudah berkali kali menyelesaikan masalah ini dari tingkat daerah hingga ke pusat, dan itu sudah kami lakukan dari rezim terdahulu, sehingga kami melontarkan sikap kalau bisa copot ini menteri,” Syamsul menegaskan.
“Nah kita bayangkan saja dulu faktanya kita lihat presidennya aja dulu waktu masih jadi gubernur (DKI Jakarta) mau turun ke selokan mau blusukan, masa ini menterinya tenang tenang saja,” Syamsul menyesalkan.
Sikap tersebut artinya revolusi mental yang didegungkan oleh Jokowi belum mengena, karena aparat negara harus hadir di setiap persoalan rakyat.
Editor : Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...