Jokowi Diminta Tahan Diri, Beri Sri Mulyani Ruang Lebih Luas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo diminta menahan diri untuk memberikan janji-janji baru berkaitan dengan insentif pajak.
Ia diminta lebih fokus pada monitoring dan evaluasi pelaksanaan amnesti pajak yang sudah dicanangkan serta menyiapkan strategi pasca-amnesti pajak. dan menuntaskan revisi UU Perpajakan dan aturan terkait.
Pada saat yang sama, ia diminta memberikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI) ruang artikulasi yang lebih luas dan waktu yang longgar untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan cetak biru reformasi pajak.
Permintaan ini disampaikan Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo, hari ini (15/8) dalam penjelasannya yang diterima oleh satuharapan.com.
Yustinus, yang juga adalah direktur eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya tentang munculnya janji-janji insentif baru dari Presiden Jokowi dan beberapa bawahannya. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu Jokowi mengatakan bahwa Indonesia akan segera menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, mengiringi pelaksanaan amnesti pajak. Di kesempatan lain, ada pejabat negara yang mewacanakan pembentukan wilayah suaka pajak untuk memfasilitasi investasi pasca-amnesti.
Menurut Yustinus, sebelum kedua wacana ini mengemuka, reformasi pajak yang menyeluruh telah menjadi agenda penting yang cukup lama tertunda. Dia mengkhawatirkan riuh rendah reformasi pajak selama ini berpotensi menjadi jargon dan mantra yang melenakan, dan bukan tak mungkin mengusung agenda yang sebetulnya bertentangan dengan spirit reformasi pajak.
Ia mengingatkan bahwa serangkaian program dan insentif yang digelontorkan dapat menggerus potensi penerimaan pajak: seperti kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang fantastis, penurunan beberapa tarif pajak, perluasan cakupan tax holiday dan tax allowance, dan moratorium pemeriksaan.
Oleh karena itu, Yustinus mengemukakan sejumlah peringatan serius agar Jokowi mempertimbangkan secara seksama sebelum merealisasikan insentif pajak baru, di luar amnesti pajak.
Yustinus mengingatkan bahwa penurunan tarif pajak memang menjadi tren global, atau sering disebut tax competition . Namun, dikhawatirkan yang terjadi adalah ‘race to the bottom’ , atau balapan menuju jurang tarif terendah.
"Indonesia sebagai negara yang bergantung pada penerimaan pajak tentu dirugikan kalau berkompetisi menuju tarif rendah, karena yang dihadapi adalah negara yang tidak bergantung pada penerimaan pajak. Kerjasama perpajakan (tax cooperation) mungkin menjadi pilihan yang lebih baik meski menuntut upaya yang lebih keras dan sungguh-sungguh," kata dia.
Oleh karena itu, Yustinus lebih menyarankan penurunan tarif pajak secara moderat. Selain menjadi insentif dan pemanis (sweetener) bagi investasi, pilihan moderat ini demi mengantisipasi dampak negatif penurunan dalam sistem pajak yang belum kuat. Yakni risiko turunnya penerimaan pajak secara tajam dan menggerus sumber pendapatan dalam jangka pendek tanpa jaminan munculnya potensi pajak baru.
Selain itu, Yustinus juga meminta Jokowi menempatkan rencana penurunan tarif dalam kerangka reformasi pajak yang komprehensif dengan peta jalan yang jelas. Peta jalan itu meliputi revisi UU perpajakan yang lebih mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan transparansi; transformasi kelembagaan; akses data perbankan; single ID Number ; koordinasi penegak hukum; dan reformasi belanja APBN.
"Tanpa itu, dikhawatirkan penurunan tarif akan menjadi “double incentives”. Kenapa “double incentives”? Karena sistem pajak yang lemah adalah insentif bagi wajib pajak untuk praktik penghindaran pajak. Maka penguatan regulasi, administrasi, dan kompetensi teknis mutlak diperlukan sebagai necessary conditions bagi reformasi pajak yang baik," kata dia.
Sambil mengantisipasi efektivitas amnesti pajak, Yustinus menyarankan penurunan tarif harus moderat dan hati-hati. Sebagai contoh, dari 25% ke 22% untuk dua tahun pertama, dan jika efektif dapat dilanjutkan ke level minimal 20%. Insentif lain juga harus digarap secara bersamaan, seperti perbaikan tata kelola pemerintahan, perijinan, logistik, kepastian hukum, perbankan, dan harmonisasi aturan. Kita membutuhkan 3C (Certainty, Clarity, dan Consistency).
"Data menunjukkan, beberapa negara yang melakukan penurunan tarif pun tidak bisa secara cepat menaikkan tax ratio . Artinya, ada beberapa prasyarat dan prakondisi yang diperlukan agar penurunan tarif ini efektif. Relasi langsung dan positif antara penurunan tarif, meningkatnya arus investasi, kenaikan output ekonomi, dan peningkatan penerimaan pajak – tidak serta merta terjadi," kata dia.
Oleh karena itu, Yustinus meminta Jokowi fokus kepada monitoring dan evaluasi pelaksanaan amnesti pajak, menyiapkan strategi pasca-amnesti pajak, dan menuntaskan revisi UU Perpajakan dan aturan terkait, perbaikan kualitas birokrasi perpajakan, dan pembenahan administrasi agar menjadi landasan bagi sistem perpajakan baru.
"Lontaran ide-ide baru yang berpotensi menciptakan ketidakpastian dan kontroversi baru seyogianya dihindari. Sri Mulyani perlu diberi ruang artikulasi yang lebih luas dan waktu yang longgar untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan cetak biru reformasi pajak," kata dia.
"Pemerintahan Jokowi harus memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok tertentu dan jangka pendek. Waspadai penumpang gelap dan para pembajak agenda reformasi pajak. Cegah terjadinya reformasi pajak palsu!."
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...