Faisal Basri: Berhentikan Arcandra Hari Ini Juga
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengatakan hampir bisa dipastikan Menteri ESDM Arcandra Tahar pernah dan atau masih menjadi warga negara Amerika Serikat (AS). Hampir bisa dipastikan pula ketika dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar masih warga negara AS atau setidaknya belum menjadi warga negara Indonesia kembali.
Oleh karena itu, ia menyerukan kepada Presiden Joko Widodo agar memberhentikan dia segera.
"Oleh karena itu tidak perlu berlama-lama menyelesaikannya. Hari ini juga sebaiknya pemerintah membatalkan demi hukum pelantikan Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM," tulis dia dalam blognya hari ini (15/8).
Ia mengutip Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan Rupublik Indonesia Pasal 23 yang menyebutkan: Warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
Selain itu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 22 menyatakan: Untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan warga negara Indonesia.
Faisal Basri menduga Presiden kenal Arcandra lewat sahabatnya, Darmawan Prasodjo, yang bekerja di istana sebagai salah satu deputi Kepala Staf Presidenan (KSP) sejak dijabat Luhut Panjaitan.
"Darmawan sangat dekat dengan Presiden Jokowi. Dialah yang mementori Jokowi selama masa kampanye untuk urusan migas," tulis dia.
Sebagai deputi KSP, Darmawan antara lain berperan sebagai pemberi second opinion kepada Presiden untuk urusan ESDM. Pandanganya beberapa kali berseberangan dengan Menteri ESDM, misalnya dalam kasus Freeport, Blok Mahakam, dan Masela. Sebaliknya, pandangannya sejalan Luhut Panjaitan.
Faisal Basri juga membuat analisis keterkaitan kasus ini dengan Blok Masela.
Menurut dia, pada tahun 2010 Menteri ESDM Darwin Z. Saleh menyetujui plan of development (PoD) Blok Masela dengan skema FLNG (floating LNG). Sedari awal proyek ini berjalan tidak mulus. Perbedaan pandangan sudah terjadi di dalam pemerintah sendiri, membuat proses perencanaan molor.
Singkat cerita, Inpex Corporation mengajukan revisi PoD pada September 2014. Proposal baru itu mengajukan peningkatan produksi dari 2,5 juta ton per tahun selama kurun waktu 30 tahun menjadi 7,5 juta ton per tahun selama masa 24 tahun.
Pembahasan meluas dengan munculnya opsi onshore yang diajukan Menko Maritim yang baru, Rizal Ramli. Bola panas terus bergulir, menimbulkan kontroversi dan “perang terbuka” antara kedua kubu.
Presiden menugaskan kementerian ESDM untuk mencari konsultan bereputasi dunia untuk membuat kajian. Pada akhir Desember 2015 konsultan mempresentasikan hasil kajiannya yang menyimpulkan FLNG lebih baik dan lebih menguntungkan negara ketimbang skema onshore.
Menurut Faisal Basri, Presiden lebih memercayai masukan lain lewat jalur informal yang berasal dari perusahaan milik Alcandra yang masuk lewat jalur deputi KSP. Akhirnya Presiden mengambil alih kewenangan Menteri ESDM dengan mengumumkan sendiri secara lisan dalam jumpa pers.
Keputusan secara lisan inilah yang dijadikan landasan bagi Menteri ESDM menyurati Inpex Corporation.
"Bisa dibayangkan kebingungan yang melanda kontraktor dengan landasan hukum tidak tertulis. Tentu amat berisiko investasi megaproyek senilai 14 miliar dollar AS hanya dilandasi oleh ucapan/lisan. Risiko lain adalah Presiden mengambil alih langsung kewenangan yang berada di tangan Menteri ESDM. Jadi bola panas sekarang di tangan Presiden," tutur Faisal Basri.
Boleh jadi, kata Faisal, penunjukan Arcandra antara lain untuk mengamankan keputusan Presiden. Masalah menjadi rumit karena hampir pasti proyek Masela bakal kembali molor. Kontaktor tidak sanggup mencari tanah seluas yang dibutuhkan untuk skema onshore yang bisa puluhan kali lebih luas ketimbang skema FLNG.
Ia menduga, pemerintah tidak mau direcoki urusan tanah ini. Demikian pula soal lokasi yang berpotensi menimbulkan ketegangan di antara pemerintah daerah di sekitar proyek. Masih banyak pula persoalan teknis dan strategis yang ditimbulkan oleh perubahan skema proyek.
"Skema onshore menimbulkan munculnya para pemburu rente yang menginginkan proyek dipecah-pecah supaya banyak yang kebagian," tulis dia.
Secara teknis, eksploitasi sangat sulit dimulai tahun 2024 sebagaimana rencana semula. Padahal proyek ini akan menghasilkan gas terbesar di tanah air. Sementara bayang-bayang defisit gas sudah di depan mata.
"Sekarang defisit minyak sudah kian dalam. Perbedaan konsumsi dan produksi minyak sudah 800.000 barrel sehari. Defisit gas akan lebih cepat dari perhitungan sebelumnya. Sementara penerimaan negara dari nonmigas tersendat-sendat sehingga menghadirkan tax amnesty yang hasilnya juga masih remang-remang."
Menurut dia, kesalahan fatal sekarang bisa mempersulit perjalanan puluhan tahun ke depan. Oleh karena itu ia meminta Arcandra diberhentikan secepatnya.
Editor : Eben E. Siadari
Bethlehem Persiapkan Natal, Muram di Bawah Bayang-bayang Per...
BETHLEHEM, SATUHARAPAN.COM-Nativity Store di Manger Square telah menjual ukiran kayu zaitun buatan t...