HUT ke-71 Kemerdekaan: Menapak Tilas Jalan Lurus Bung Hatta
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Proklamasi kemerdekaan Indonesia tak pernah tak menyebut Drs.H.Mohammad Hatta, atau terkenal dengan sebutan Bung Hatta. Ia salah seorang proklamator. Sejarah bahkan pernah mencatatnya sebagai salah satu dari dwitunggal, bersama Soekarno, presiden pertama Indonesia.
Pemikiran-pemikirannya di bidang ekonomi, sesungguhnya juga tak dapat dipisahkan dari perjuangannya bagi kemerdekaan Indonesia. Banyak sejarawan pun ekonom, apabila ingin mencari konsep ideal perekonomian Indonesia, mengacu terlebih dahulu pada pemikiran ekonom jebolan Belanda ini.
Banyak sebutan disematkan kepada Bung Hatta, terkait pemikirannya di bidang ekonomi. Menurut Taufik Abdullah, dalam tulisan pengantarnya untuk buku karya Hatta Bukit Tinggi-Rotterdam Lewat Betawi (Penerbit Kompas, 2011), surat kabar Jepang pernah menjuluki Hatta sebagai Gandhi dari Jawa, karena pemikiran-pemikiran Hatta yang menekankan perlunya kemandirian secara ekonomi.
Ketika perekonomian Indonesia kini banyak mendapat kritik oleh defisit anggarannya yang melebar, perdagangan yang masih bertumpu pada komoditas, indeks ketimpangan pendapatan yang meningkat, kembali orang menoleh pada warisan pemikiran Bung Hatta. Sepanjang 71 tahun Indonesia merdeka, seberapa jauh atau seberapa dekat negara ini dari cita-cita pembangunan ekonomi yang diinginkan Hatta?
Jalan Lurus, Jalan Pancasila
Banyak yang berpikir bahwa paham ekonomi Bung Hatta yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah semacam jalan tengah dari dua kutub ekstrem, yaitu ekonomi liberal di satu sisi dan etatisme ekonomi di pihak lain. Atau ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada pasar di satu sisi dan ekonomi yang dikuasai negara, di sisi lain.
Namun, menurut Meutia Farida Hatta Swasono, salah seorang putri beliau, Bung Hatta sesungguhnya tidak menawarkan jalan tengah. Yang ia tawarkan adalah ‘jalan lain,” yang oleh Hatta sendiri disebut ‘jalan lurus’ atau ‘jalan Pancasila.’ Dalam sebuah pidato yang disampaikannya pada sebuah Kuliah Umum Universitas Bung Hatta, Bukittinggi, 2 Desember 2011, Meutia mengatakan bahwa konsepsi ekonomi Bung Hatta menekankan bahwa pembangunan adalah proses humanisasi, memanusiakan manusia, bahwa yang dibangun adalah rakyat, bahwa pembangunan ekonomi adalah derivat dan pendukung pembangunan rakyat. Di dalam kehidupan ekonomi yang berlaku adalah “daulat-rakyat” bukan “daulat-pasar”.
Menurut Meutia yang menjabat menteri pemberdayaan perempuan di Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) itu, Bung Hatta mengamanatkan perekonomian nasional dibangun dengan ‘doktrin demokrasi ekonomi.’ Bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Kemakmuran adalah bagi semua orang, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Dengan mengacu pada pasal 33 UUD 1945, Meutia mengatakan Bung Hatta menempatkan prekonomian sebagai wadah yang harus meliputi seluruhnya pelaku ekonomi. Tdak saja badan usaha koperasi, tetapi juga meliputi BUMN dan juga badan usaha swasta.
Selanjutnya, adanya kata ‘disusun’ dalam pasal 33 UUD 1945, menurut Meutia, artinya adalah bahwa perekonomian, tidak dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme dan keku¬atan pasar. Secara imperatif, tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri mengikuti kehendak dan selera pasar.
“Dengan demikian peran negara tidak hanya sekedar mengintervensi, tetapi menata, mendesain dan merestruktur, untuk mewujudkan kebersamaan dan asas kekeluargaan serta terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Meutia.
Pemikiran Bung Hatta kini berhadapan dengan globalisasi yaitu gejala meluasnya global networking yang dipacu oleh perkembangan komunikasi dan informasi menembus batas-batas dan sekat-sekat antar negara. Pada saat yang sama terjadi globalisasi pemikiran termasuk perihal demokratisasi ekonomi.
Kini, menurut Meutia, dalam kehidupan ekonomi Indonesia ‘demokratisasi ekonomi diterjemahkan menjadi “liberalisasi” dan “privatisasi.” Badan-badan usaha negara yang merupakan “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak” diprivatisasi. Padahal, prinsip dari demokrasi adalah partisipasi dan eman¬sipasi. Itulah sebabnya maka Bung Hatta mengartikan demokrasi sebagai lembaga politik di mana “semua diwakili” bukan yang “semua dipilih” seperti demokrasi di Barat. Semua diwakili berarti pengambilan keputusan yang paling tepat adalah melalui mekanisme musyawarah dan mufakat sedangkan semua dipilih sebagai dasar bagi demokrasi Barat berarti sebagai konsekuensi pengambilan keputusan dilakukan melalui voting berdasar suara terbanyak.
Tentang Bung Hatta
Bung Hatta lahir di Fort de Kock, Hindia Belanda (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), 12 Agustus 1902. Sejak kecil kegiatan perdagangan memengaruhi perhatiannya terutama oleh pengaruh paman-pamannya yang berkiprah sebagai saudagar.
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidup perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Karier Politik
Hatta tertarik pada pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta memulai kiprahnya di bidang politik saat bersekolah di Rotterdam, Belanda antara tahun 1921-1932. Ia bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam).
Ia bergabung dengan sebuah perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereniging. Mulanya, organisasi tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische Vereniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1924.
Hatta menjabat sebagai bendahara Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922-1923 dan mengasuh majalah Hindia Poetra yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Ia kemudian menjadi ketua PI pada 17 Januari 1926.
Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul “Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan” (Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen).
“Buku Pintar Politik, Sejarah, Pemerintaham, dan Ketatanegaraan” mengatakan, Bung Hatta dalam pidatonya mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif.
Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia.
Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia dan sejak saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi internasional.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda dan berkenalan dengan aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.
Menulis Bidang Ekonomi dan Koperasi
Buku “Rekam Jejak Dokter Pejuang & Pelopor Kebangkitan Nasional” mencatat pada tanggal 22 Maret 1928, Mahkamah Pengadilan di Den Haag membebaskan Hatta bersama Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo dan Abdul Madjid Djojoadiningrat dari hukuman penjara selama lima setengah bulan yang telah dijalankan.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri pada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra’jat dan kadang-kadang De Socialist.
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Belanda dan sebulan kemudian tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932-1933, Hatta sibuk menulis berbagai artikel politik dan ekonomi Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik pada Partai Nasional Indonesia (PNI Baru). Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Sekembalinya ia dari Belanda, Hatta ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada 6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen. Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda.
Sebenarnya Hatta menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia. Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif. Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digoel, dan selanjutnya ke Banda Neira.
Pada tahun 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, pemerintah kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada PNI baru. Para pimpinan PNI Baru ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Sebelum ke Digoel para pimpinan PNI dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menuli buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme.”
Pahlawan Nasional
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi.
Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah, mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai tiga anak perempuan yang bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Setelah wafat, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Bung Karno. Pada 7 November 2012, Bung Hatta secara resmi bersama dengan Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...