Jokowi Dinilai Belum Saatnya Batalkan Kenaikan Harga BBM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Harga minyak dunia yang dewasa ini menunjukkan tren penurunan telah memunculkan kritik terhadap keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM Bersubsidi dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per liter.
Keputusan tersebut dikontraskan dengan keputusan Presiden SBY pada Desember 2008 yang secara berturut-turut menurunkan harga BBM dari Rp 6.000 per liter menjadi Rp 5.500, turun lagi menjadi Rp 5.000 per liter dan selanjutnya menjadi Rp 4.500 per liter. Alasannya ketika itu adalah harga minyak dunia juga menunjukkan penurunan.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, menilai, tren penurunan harga minyak dunia dewasa ini belum menjadi alasan kuat bagi Jokowi untuk membatalkan kenaikan harga BBM Bersubsidi sebagaimana dituntut oleh banyak orang.
Doktor Ilmu Ekonomi dari Universiteit Twente, Belanda ini mengakui jika harga minyak dunia berada di kisaran 80 dolar AS per barel dan kurs Rupiah di kisaran Rp 12.000 per dolar AS, harga keekonomian BBM di dalam negeri memang berkisar di Rp8.500 per liter. Dengan demikian harga yang ditetapkan Jokowi merupakan harga tanpa subsidi.
Meskipun demikian, dosen pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi (FTKE) Universitas Trisakti ini mengatakan asumsi harga minyak dunia yang dipakai adalah harga rata-rata dalam setahun, bukan harga pada satu waktu tertentu saja.
Menurut Pri Agung, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price, ICP) Januari-Oktober 2014 masih pada kisaran 102,32 dolar AS per barel, atau hanya sekitar 2 dolar di bawah asumsi APBNP 2014 sebesar 105 dolar AS per barel.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah saat ini pada kisaran Rp 12.000 per dolar AS, atau melemah dari asumsi Rp 11.500 di APBNP 2014.
"Artinya, secara keseluruhan subsidi BBM masih tetap berpotensi membengkak sekitar Rp 15 triliun dari yang dianggarkan dalam APBNP 2014. Jika pun rata-rata harga minyak pada November-Desember ini bertahan di 80 dolar AS per barel, besaran subsidi BBM kemungkinan hanya akan tetap sama seperti yang dianggarkan," kata Pri Agung, lewat percakapan telepon dengan satuharapan.com pagi ini.
Pada kesempatan terpisah, Wakil Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan, harga minyak dan BBM di pasar global sudah cukup transparan. Sehingga para pihak semestinya dapat menjadikan data tersebut sebagai referensi.
"Jadi dari sudut pandang harga keekonomian dengan harga minyak dunia pada saat ini harga BBM di dalam negeri masih di bawah harga keekonomian," kata Komaidi, melalui email kepada satuharapan.com tadi malam.
Tagihan di Masa Pemerintahan SBY
Pri Agung menambahkan, ada alasan lain yang lebih urgen bagi Presiden Jokowi untuk menaikkan harga BBM, selain untuk merealokasi dan mereformasi sistem subsidi, seperti yang sering dikemukakan berulang-ulang. Alasan yang dimaksud ialah adanya 'tagihan' beban subsidi BBM yang seharusnya dibayarkan oleh pemerintahan SBY melalui APBN 2014 tetapi dibebankan ke APBN.2015.
Beban ini terjadi karena pemerintahan SBY tidak berhasil menekan konsumsi BBM seperti yang ditargetkan. Akibatnya subsidi BBM di tahun 2014 membengkak.
Menurut Pri, APBN 2015 warisan SBY, yang mau tidak mau harus dilanjutkan pemerintahan Jokowi, tidak memiliki ruang fiskal yang memadai untuk menggerakkan aktivitas pemerintahan. Inilah yang membuat Jokowi terpaksa menaikkan harga BBM.
"APBN 2015 yang menyusun kan rezim SBY. APBN tersebut menanggung beban tambahan sebesar Rp 46,26 triliun, yaitu subsidi yang dikeluarkan tahun 2014 dan harusnya dibayarkan di APBN 2014 tetapi itu tidak dilakukan," kata Pri.
Beban subsidi itu tidak dialokasikan di APBN 2014 karena akan membuat defisit APBN lebih dari 3 persen. Padahal, UU Keuangan Negara tahun 2003 pasal 12 ayat 3, menyatakan maksimal defisit APBN hanya boleh 3 persen. Maka, karena tidak ingin melanggar UU, pemerintahan SBY membebankan pembayarn sebagian subsidi BBM ke APBN 2015.
"Pemerintahan Jokowi mewarisi beban ini. Dan karena hal itu, praktis Presiden Jokowi tidak memiliki ruang fiskal apabila harga BBM tidak tidak dinaikkan," tutur Pri.
Mungkinkah Kenaikan Harga BBM Dibatalkan?
Pri Agung mengatakan, kemungkinan untuk membatalkan kenaikan harga BBM, atau menurunkannya ke tingkat yang lebih rendah dari sekarang, selalu ada apabila harga rata-rata minyak dunia berada di bawah 80 dolar AS per barel dan nilai tukar Rupiah menguat dari Rp 12.000 per dolar AS dewasa ini. Ia juga tidak menampik kemungkinan Jokowi mengambil kebijakan seperti yang ditempuh oleh Presiden SBY pada tahun 2009.
"Namun, masih perlu diamati sejauh mana penurunan harga minyak dunia dan seberapa luas kelonggaran APBN yang dimiliki oleh pemerintah," kata Pri
Di sisi lain ia menggaris bawahi bahwa seharusnya kebijakan menaikkan harga BBM dipandang sebagai upaya memperbaiki politik anggaran yang selama ini salah dalam menempatkan subsidi.
"Jika politik anggarannya adalah realokasi anggaran dan reformasi sistem subsidi, dari sistem subsidi harga menjadi subsidi langsung, kenaikan harga BBM bisa saja dilakukan ketika sedang tidak ada tekanan fiskal atau ketika harga minyak dunia sedang turun. Dalam sejarah Indonesia, hal ini belum pernah dilakukan," tutur dia.
Sementara itu Komaidi Notonegoro menekankan, masyarakat harus disadarkan bahwa Indonesia tidak kaya minyak lagi. Ketergantungan terhadap minyak harus diatasi dengan meningkatkan kesadaran akan ketahanan energi pada saat ini dan yang akan datang.
Editor : Eben Ezer Siadari
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...