Jumlah Orang Kristen Menurun Membuat Suriah Makin Tidak Aman
SATUHARAPAN – Orang-orang Kristen di Suriah dan yang tinggal di kawasan konflik lain di Timur-Tengah telah dilupakan. Padahal, ketiadaan mereka membuat situasi di kawasan itu makin tidak aman.
Opini ini disampaikan di Real Clear Religion oleh Most Rev. Jean Clément Jeanbart Uskup Agung Gereja Katolik Melkite, Aleppo, Suriah. Pdt Jeanbart mengemukakan bahwa banyak orang Kristen di daerah konflik telah meninggalkan rumah mereka atau telah menjadi pengungsi perkotaan di luar sistem kamp PBB. Mereka terjepit, makin sedikit bantuan, dan perhatian internasional kurang.
Situasi mereka mengerikan. Dan, apakah mereka akan mampu bertahan itu semua tergantung pada peristiwa beberapa bulan ke depan. Jika orang-orang Kristen—dianut oleh 10 persen penduduk Suriah sebelum perang—menghilang, hilang pula harapan akan pluralisme. Jika intoleransi teokratis ISIS terus berjalan, orang Kristen akan menghadapi pilihan yang tidak mungkin: lari, atau menghadapi kematian: fisik, atau spiritual dalam bentuk pemaksaan.
Implikasi keamanan ini untuk dunia sangat jelas. Suriah tanpa orang Kristen, mediator sejarah di negara itu, akan membuat Suriah makin tidak aman. Dan, wilayah yang tidak aman membuat dunia tidak aman. Sudah saatnya bagi masyarakat internasional untuk mengambil tindakan, tidak hanya untuk memastikan bahwa korban genosida di Suriah mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan, tetapi juga memastikan bahwa ketika situasi sudah stabil, mereka memiliki hak yang sama seperti setiap warga Suriah lainnya. Bahwa, mereka memiliki perlindungan yang sama di mata hukum dan bukan sebagai warga negara kelas dua.
Orang Kristen dan Muslim sering berpikir bahwa agama Kristen adalah agama Barat. Karena kekristenan berkembang di milenium kedua dalam jumlah yang lebih besar di Eropa. Tapi, dilihat dari segala aspek, orang Kristen di Timur Tengah lebih banyak daripada orang Kristen Eropa pada milenium pertama setelah Kristus.
Dan, pada dekade pertama kekristenan, sangat jelas para pengikut Kristus di Tengah Timur dan Suriah memainkan peran sentral dalam Perjanjian Baru. Orang Suriah sudah Kristen bahkan sebelum Rasul Paulus. Paulus tidak mengabarkan Injil pada mereka yang tinggal di Suriah. Paulus pergi ke sana untuk menganiaya orang Kristen Suriah dan kemudian terlempar dari kudanya dan diubah menjadi pengikut Yesus. Paulus diterima ke dalam Gereja oleh Ananias, seorang Kristen Suriah.
Selama berabad-abad setelahnya, kekristenan di wilayah ini adalah kekuatan misionaris besar, menyebarkan iman tidak hanya untuk Eropa, tapi ke Timur Jauh, ke Tiongkok, India dan Tibet.
Enam abad setelah Kristen berakar, muncullah Islam. Tapi Islam dan Kristen di daerah itu menikmati sejarah bersama. Orang Islam-serta Kristen-mendapat manfaat besar selama masa harmoni Kristen dan Muslim di wilayah tersebut. Dan, Kristen Timur memberikan kontribusi besar terhadap ilmu pengetahuan di dunia Muslim.
Misalnya, dalam bukunya The Lost History of Christianity, sejarawan Philip Jenkins menulis: “Orang-orang Kristenlah ... yang memelihara dan menerjemahkan warisan budaya dunia kuno—ilmu pengetahuan, filsafat, dan kedokteran—dan yang mentransmisikan ke pusat-pusat seperti Baghdad dan Damaskus. Banyak dari apa yang kita sebut intelektual Arab pada kenyataannya adalah orang Suriah, Persia, dan Koptik ... intelektual Kristen berbahasa Siria membawa karya-karya Aristoteles ke dunia Muslim ... Orang Kristen Suriah bahkan membuat referensi pertama ke sistem penomoran efisien dari India yang kita tahu hari ini sebagai angka Arab. Dan, itu jauh sebelum teknik ini menjadi familiar di antara pemikir Muslim ... Ada akar Kristen dari zaman keemasan Arab.”
Tapi meskipun memiliki kontribusi yang sangat besar dan untuk generasi yang tak terhitung jumlahnya untuk wilayah yang mereka sebut rumah, orang-orang Kristen ini sekarang ditinggalkan tanpa punya apa-apa, pun nyawa mereka. Menyumbang daerah itu dengan sejarah yang kaya, keadaan itu sangat buruk: bagi orang Kristen, maupun tetangga mereka yang non-Kristen.
Hari ini, orang Kristen Timur Tengah Kristen dan prestasi mereka tetap relatif tidak dikenal baik di Timur Tengah dan Barat. Tapi, hari ini, dengan lebih dari dua miliar orang Kristen dan komunikasi yang makin cepat, tidak ada alasan bagi mereka di tempat lain untuk mengabaikan apa yang terjadi di sana.
Jika pendidikan dapat memulihkan aspek dari “sejarah yang hilang”, hanya masyarakat internasional yang dapat mencegah masa depan hilang.
Selama 2.000 tahun, gereja telah hadir tak terputus di negeri yang memberi Rasul Paulus iman baru ini—wilayah asal Eropa dan Asia belajar Injil. Di sini, iman Kristen adalah adat untuk daerah ini. Ia lahir di wilayah ini. Kekristenan berakar di wilayah ini. Dan, kekristenan memiliki hak untuk terus eksis di daerah ini.
Namun, masa lalu yang kaya ini sedang menghadapi masa depan yang tidak pasti. Menjadi target genosida oleh ISIS dan kelompok terkait, situasi orang Kristen Suriah telah menjadi genting. Apa yang terjadi dalam beberapa bulan ke depan juga bisa menentukan apakah Suriah tetap menjadi masyarakat majemuk, atau mengikut model teokrasi radikal ala ISIS.
Apa yang dipertaruhkan bukan salah satu cabang agama Kristen, tapi akarnya. Tetapi, yang dipertaruhkan adalah karakter pluralistik Timur Tengah.
Di jalan menuju Damaskus, dan di kota itu, Rasul Paulus harus memilih apakah akan menghancurkan kekristenan di wilayah tersebut, atau membantunya berkembang. Hari ini, Suriah—dengan bantuan komunitas internasional—menghadapi pilihan yang sama. Dan, seperti pilihan Rasul Paulus, keputusan yang dibuat hari ini akan tidak hanya memengaruhi Suriah, tetapi seluruh dunia.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...