Jumlah Tes COVID-19 Tak Konsisten, Peneliti: Puncak Pandemi di Indonesia Sulit Diprediksi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah mengklaim akan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi pengadaan alat dan cairan reagen, guna meraih sasaran 10.000 tes COVID-19 per hari.
Saat ini capaian tes pemerintah berkisar dari 3.000 sampai yang tertinggi 9.000, data tak konsisten yang disebut pakar epidemiologi membuat peneliti sulit memprediksi kapan puncak pandemi terjadi.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo menyatakan pemerintah sempat memeriksa lebih dari 9.000 spesimen per hari, yang mendekati target 10.000 tes per hari pada Jumat (8/5).
Penambahan kasus baru COVID -19 keesokan harinya, pada Minggu (9/5), pun tercatat menjadi yang tertinggi di Indonesia, yakni 533 kasus.
Namun, Doni mengatakan, setelah itu, angka pengetesan turun, hingga ke rata-rata 4.000- 5.000 per hari.
Sejak hari Minggu (10/5) hingga Senin (11/5), pemerintah bahkan tercatat hanya mengetes sekitar 3,000 tes spesimen, baik melalui PCR maupun tes cepat molekuler (TCM).
Padahal, menurut data gugus tugas, ada sekitar 280.000 PDP dan ODP yang perlu segera diperiksa.
Pakar epidemiologi Laura Navika mengatakan, jumlah tes yang berkurang akan menyebabkan penambahan jumlah kasus terlihat menurun. Namun, itu tak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
"Jangan-jangan kasus menurun bukan karena memang riil menurun...Jangan-jangan per hari itu (di mana angka turun itu) memang tidak dilakukan pemeriksaan," kata Laura, dilansir bbc.com pada Selasa (12/5)..
"Bisa jadi penurunan palsu. Akibatnya, orang awam bisa berpikir kasusnya mereda, dan bisa muncul keinginan untuk beraktivitas di luar."
Data pengetesan per hari yang tak konsisten ini, disebut Laura akan berpengaruh pada prediksi puncak pandemi COVID-19 di Indonesia yang sempat diperkirakan akan terjadi bulan Mei hingga Juni.
"Ya jadi sulit diprediksi... Memang prediksi puncak pandemi itu berbasis data yang sudah dikumpulkan hari per hari. Jika ada kekacauan spesimen dan kualitas datanya tidak baik, itu akan mempengaruhi kualitas prediksi," kata Laura, prediksinya akan berubah, bergeser.
Reagen Langka
Salah satu alasan jumlah tes belum konsisten per harinya adalah karena kelangkaan reagen, atau cairan yang digunakan untuk pengetesan COVID-19, di sejumlah daerah.
Di Provinsi Kalimantan Tengah, yang jumlah angka positifnya sudah menembus angka 200, laboratorium COVID-19 bahkan belum berfungsi karena keterbatasan reagen.
Spesimen di provinsi itu pun terpaksa dikirim ke daerah lain, seperti Surabaya dan Jakarta, yang mengakibatkan hasil tes baru diterima dalam waktu yang lama, yakni sekitar 10 hari kata Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah, Suyuti.
"Masalah besar di kami, reagen primer yang terbatas. Kami alat PCR baru ada, tapi baru dalam tahap uji coba, jadi belum ada hasil resmi," katanya.
Sementara, di Papua, yang angka positifnya mencapai lebih dari 300 orang, laboratoriumnya hanya bisa memeriksa maksimal 150 spesimen per hari, kata juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Papua Silwanus Sumule.
"Kami punya satu alat PCR, sekali jalan bisa dapat (memeriksa) 96 sampel. Tapi kami paksa alatnya karena banyaknya jumlah yang harus diperiksa, sehingga kami bisa dapat hasil tes 140-150 sampel per hari," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah kembali mengirimkan alat PCR untuk Papua juga kelengkapan untuk menjalankan tes cepat molekuler (TCM).
Keterbatasan SDM
Pada sisi lain, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID -19, Doni Monardo, menyampaikan hingga kini jumlah petugas laboratorium yang bertugas mengecek hasil tes PCR masih terbatas.
Ia mengatakan, pihaknya berencana merekrut anggota TNI dan Polri untuk melakukan pengujian di rumah sakit tentara maupun Polri.
Doni mengatakan petugas laboratorium bisa bekerja selama 24 jam setiap hari.
Saat ini, tambahnya, petugas di sejumlah laboratorium hanya bekerja pada hari kerja.
"Artinya dibagi menjadi paling tidak tiga shift, sehingga kemampuan pemeriksaan spesimen setiap hari di seluruh laboratorium mengalami peningkatan," katanya.
Selain itu, pentingnya petugas laboratorium yang cakap ditekankan oleh Ratih Asmana Ningrum, Manager Biosafety Level tiga di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Ia mengatakan, bekerja di laboratorium butuh keahlian dan pengetahuan yang spesifik termasuk penguasaan metode deteksi, berbasis biologi molekuler.
Butuh juga pengetahuan, terkait keamanan agar tidak terjadi infeksi di laboratorium.
"Kita menghadapi virus jenis baru, sehingga untuk biosafety dan biosecurity kita perlu menegakkan pemahaman yang sama dalam menghadapi virus ini," kata Ratih.
Test Kit PCR Buatan Dalam Negeri
Untuk memenuhi target sebanyak 10.000 tes, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan, akan segera mendistribusikan PCR buatan dalam negeri.
"Untuk PCR, tes kit masih uji validasi dan registrasi. Setelah selesai akan dimulai produksi. Akhir bulan ini kita targetkan produksi 50.000. Katakanlah awal Juni bisa dipakai tes kit tersebut," katanya.
Meski begitu, Bambang mengatakan, reagen untuk alat itu masih harus diimpor.
Terkait kecukupan reagen, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo mengatakan pemerintah telah mendatangkan satu juta lebih reagen, untuk PCR dan sejumlah kelengkapan alat tes lainnya.
Selanjutnya, tambah Doni, Kementerian Kesehatan juga akan mengimpor lagi reagen dari Korea Selatan dan China. (bbc.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...