Jurnalis Hadapi Ancaman Mati dan Penjara di Myanmar
MYANMAR, SATUHARAPAN.COM - Mula-mula ancaman mati, kemudian perintah penangkapan. Kini Aung Marm Oo bersembunyi setelah dua kali nyaris ditangkap, dengan menyelinap dari apartemen saudara lelakinya, hanya beberapa jam sebelum digerebek personil Satuan Khusus, unit intelijen kepolisian Myanmar yang ditakuti.
Bahaya seperti itu sudah amat biasa bagi wartawan yang menginjakkan kaki di negara bagian Rakhine, wilayah di mana diduga telah terjadi genosida terhadap warga minoritas Muslim-Rohingya, dan di mana pemberontak etnis Rakhine yang menuntut otonomi lebih luas kini bertempur melawan militer Myanmar.
Aung Marm Oo adalah pendiri dan direktur eksekutif Development Media Group (DMG), media berita yang berbasis di ibu kota Rakhine, Sittwe. Media ini memberitakan tentang pelanggaran hak asasi manusia dalam bentrokan antara pemberontak Lasyakar Arakan (AA) dan tentara Myanmar baru-baru ini.
Ia termasuk di antara 52 wartawan yang menghadapi persekusi di bawah berbagai UU yang menindas sejak pemerintah Myanmar yang pertama kali dipilih secara demokratis berkuasa tahun 2016.
Tidak Mendapat Bantuan Kemanusiaan
Sementara itu puluhan ribu pengungsi lansia yang tinggal di kamp-kamp di dan sekitar Myanmar tidak mendapat bantuan kemanusiaan sesuai kebutuhan mereka, demikian menurut Amnesty International.
Laporan kelompok itu didasarkan pada wawancara dengan ratusan pengungsi yang tinggal di kamp-kamp di Bangladesh. Krisis ini dimulai tiga tahun lalu ketika pecah bentrokan antara milisi etnis Muslim-Rohingya dan militer Myanmar, yang memaksa jutaan warga Muslim-Rohingya melarikan diari dari desa-desa mereka di timur laut negara bagian Rakhine.
Kutupalong di Cox's Bazar, Bangladesh, adalah salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia. Lebih dari 600 ribu orang tinggal disini, sebagian besar adalah etnis Muslim-Rohingya dari Myanmar. Ditambah Kamp-kamp lain yang dekat dengan Kutupatong jumlah pengungsi secara keseluruhan di kawasan itu mendekati angka satu juta orang.
Para pengungsi ini melarikan diri dari serangan brutal oleh militer Myanmar dan meluasnya konflik antar milisi etnis itu. Meskipun orang-orang yang lebih muda dapat melarikan diri dari serangan di desa-desa mereka, warga yang lebih tua kerap tertinggal.
Ilustarsi. Seorang pria lansia pengungsi Rohingya di perbatasan Myanmar-Bangladesh (foto: VOA).
Mariam Khatun lari bersama ketiga anaknya ketika tentara Myanmar memasuki desanya di Maungdaw Township.
“Ketika tentara datang dan membakar rumah-rumah, orang tua saya berada di dalamnya. Lima tahun ini orang tua saya tidak dapat bergerak sendiri. Mereka terbaring di tempat tidur. Saya memapah mereka ketika harus buang hajat. Kami tidak dapat menggendong mereka ketika melarikan diri. Kami menyebrangi sungai. Jadi orang tua saya terbakar hidup-hidup ketika rumah kami dibakar tentara,” tutur Mariam seperti dilansir dari VOA, 21 Juni 2019.
Warga lansia Rohingya yang mampu mencapai kamp-kamp pengungsi menghadapi serangkaian tantangan lain. Amnesty International mengatakan mereka seringkali tidak dapat mengakses fasilitas dasar.
Banyak para pengungsi lansia itu terpaksa mengungsi tiga kali atau lebih sepanjang hidup mereka.
Pemerintah Myanmar mengatakan kondisi sudah aman jika para pengungsi ingin kembali. Tetapi otorita lokal menolak memberi kewarganegaraan penuh kepada warga Muslim-Rohingya atau mengijinkan mereka kembali ke rumah.
Stephen Pattison dari UNHCR mengatakan, “Pertanyaannya adalah tentang kapan saat yang tepat bagi warga Muslim-Rohingya untuk kembali ke Myanmar. Agar hal ini dapat terwujud,harus ada kondisi yang aman, bermartabat dan solusi jangka panjang di Myanmar.”
Hingga hal itu terwujud, Amnesty International mengatakan, operasi bantuan yang luas harus mempertimbangkan kebutuhan khusus para pengungsi lansia.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...