Jurnalis Prancis yang Ditahan di Papua Ragukan Kebijakan Jokowi
PAPUA, SATUHARAPAN.COM - Thomas Dandois, wartawan Prancis yang ditahan di Propinsi Papua meragukan Pemerintah Indonesia akan menindaklanjuti janjinya mencabut larangan peliputan bagi jurnalis asing di wilayah itu.
"Saya pikir itu tidak akan berubah dramatis dalam semalam. Hasil peliputan tidak akan menyenangkan pemerintah Indonesia. Akan ada hal-hal yang tidak ingin mereka dengar," kata Thomas seperti dilansir radioaustralia.net.au, Jumat (29/5).
Pada awal bulan ini, dalam kunjungan ke Papua, Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan pelarangan bagi jurnalis asing untuk meliput di wilayah tersebut.
Sejak pengumuman Presiden Jokowi, seorang pejabat senior Indonesia mengatakan, jurnalis asing masih harus mengajukan permohonan izin dan akan dikenakan pemeriksaan.
Tahun lalu karena tidak memiliki izin masuk, Thomas Dandois bersama rekannya Valentine Bourrat, dipenjarakan selama 2,5 bulan saat sedang syuting program dokumenter tentang gerakan separatis di provinsi Papua.
Pihak berwenang Indonesia saat itu menyatakan keduanya masuk ke Papua tanpa izin sebagai jurnalis.
"Apakah Papua pasti dibuka untuk jurnalis, akankah mereka bisa melakukan pekerjaan mereka? Kami belum tahu dan kami harus tetap sangat berhati-hati akan hal itu," kata Thomas.
Thomas telah kembali ke Prancis tetapi ia masih mengikuti perkembangan peristiwa di wilayah yang kaya sumber daya alam itu.
"Saya memiliki perasaan jika saya meminta visa, saya tidak akan mendapatkannya. Itu hal pertama yang terlintas di pikiran saya ketika mendengar berita ini. Saya pikir, oke, mari kita lihat bagaimana mereka akan bereaksi jika saya meminta izin," ujarnya.
Thomas juga pernah dipenjarakan di Nigeria sebelum penahanannya di Indonesia. Ayah dari dua anak ini telah bersumpah "untuk tidak kembali ke zona perang dan tidak mengambil risiko". Tapi kemungkinan pencabutan larangan peliputan di Papua membuatnya berpikir ulang.
"Kami tak punya cukup bahan untuk sebuah laporan lengkap. Tapi itu bisa jadi menarik, hari ini atau satu setengah tahun kemudian, untuk melengkapi laporan kami dengan mewawancarai kedua belah pihak," katanya.
Ia menambahkan, "Ini akan memungkinkan kami untuk membuat laporan lengkap, tidak bisa ke satu pihak melawan pemerintah Indonesia." (radioaustralia.net.au)
Editor : Eben Ezer Siadari
Bangladesh Minta Interpol Bantu Tangkap Mantan PM Sheikh Has...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM-Sebuah pengadilan khusus di Bangladesh pada hari Selasa (12/11) meminta organ...