Kadin: Pemerintah Perlu Batasi Film Impor
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan pada pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif untuk menetapkan batasan kuota film impor agar film nasional memiliki kesempatan untuk berkembang.
"Saat ini film nasional terhimpit oleh film impor karena tidak menurunnya jumlah film asing yang diimpor seiring dengan naiknya jumlah produksi film nasional," kata Ketua Komite Tetap Film, Video, dan Fotografi Kadin Indonesia Rudy Sanyoto di Jakarta, Rabu (4/2).
Sebagai contoh, katanya, tahun 2014 ada 257 judul film impor yang masuk ke Indonesia, sedangkan produksi film nasional hanya 126 judul.
Membanjirnya film asing yang masuk ke Indonesia, kata Rudy, juga disebabkan karena sistem pajak yang tidak berpihak pada pelaku industri perfilman lokal.
"Pajak yang dikenakan untuk film nasional rata-rata 10 persen dari total biaya produksinya, kalau setiap film diproduksi dengan biaya Rp 3 miliar berarti sekitar Rp 300 juta habis hanya untuk pajak," tuturnya.
Sedangkan bea masuk yang dikenakan untuk film impor hanya Rp 21.450 per menit atau sekitar Rp 2 juta untuk satu judul film berdurasi 90 menit.
"Ini kan ironis sekali ketika pajak film nasional malah 150 kali lipat dari bea masuk film impor," ujarnya.
Untuk itu ia mengusulkan agar kuota film impor di Indonesia dibatasi menjadi sekitar 50 judul dalam satu tahun dengan bea masuk yang setara dengan biaya produksi film nasional sehingga film asing yang masuk ke Indonesia hanya film-film besar dan berkualitas.
"Dengan begitu film-film asing yang tidak terlalu bagus akan sulit masuk ke Indonesia sehingga memberi kesempatan bagi film-film lokal kita untuk bisa diputar lebih lama di bioskop," tuturnya.
Rudy menjelaskan contoh negara yang sudah berhasil memajukan industri perfilmannya melalui strategi pembatasan kuota film impor adalah Tiongkok dengan menetapkan hanya 20 judul film asing yang boleh masuk dalam satu tahun.
"Dampak positif dari pembatasan kuota film impor di Tiongkok yaitu berkembangnya sektor perbankan nasional, pertumbuhan `joint production` yang pesat, dan majunya bioskop," tuturnya.
Penambahan sarana seperti layar bioskop juga diperlukan untuk mendukung pengembangan film sebagai salah satu subsektor industri kreatif.
"Saat ini hanya ada 800 layar bioskop di sekitar 50 kota, padahal Indonesia punya 450 kota. Ini menunjukkan bahwa keberadaan bioskop masih langka dan penyebarannya tidak merata," katanya.
Mengacu pada Tiongkok yang memiliki 13.000 layar bioskop dan AS yang mempunyai 15.000 layar bioskop, Rudy berpendapat bahwa negara yang luas dengan pertumbuhan penduduk tinggi seperti Indonesia setidaknya harus memiliki 5.000 hingga 6.000 layar bioskop.
Selain itu, masalah lain yang perlu diperhatikan dalam sektor perfilman adalah perbaikan sistem pemasaran yang selama ini dinilai Rudy masih kurang maksimal dan kurang menarik.
"Kalau dibandingkan `marketing` film Amerika, kita masih kalah jauh karena marketing film mereka sangat hebat, jauh hari sebelum beredar telah dikampanyekan melalui berbagai media dengan cara menarik," tuturnya.
Maka, sebagai perwakilan dari pelaku industri perfilman, Rudy minta pada Badan Ekonomi Kreatif untuk mengalokasikan sejumlah dana dari APBN untuk mendukung pengembangan pemasaran film nasional.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf menyatakan bahwa film akan menjadi salah satu subsektor unggulan atau program lokomotif yang akan diprioritaskan oleh Badan Ekonomi Kreatif.
"Melalui film kita bisa mempromosikan berbagai produk industri kreatif misalnya kuliner, mode, musik, dan kerajinan," ujarnya.
Pemerintah sendiri melalui Badan Ekonomi Kreatif menargetkan peningkatan kontribusi terhadap PDB sebesar 14 persen atau dua kali lipat dari kontribusi industri kreatif terhadap PDB nasional saat ini yang mencapai tujuh persen. (Ant)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...