Kalau Merah Itu Berhenti!
Hampir semua orang dewasa memiliki motif.
SATUHARAPAN.COM – Suatu saat, dalam sebuah perjalanan dengan mobil, anak saya, Bhanurasmi, bertanya kenapa sering kami berhenti. Jawaban ringan pun keluar dari mulut saya: karena kami sedang berada di lampu merah. Tidak hilang penasarannya, dia pun kembali bertanya, kenapa kalau lampu merah berhenti. Saya kembali menjelaskan bahwa sesuai aturan, lampu merah berhenti, lampu hijau boleh jalan, dan lampu kuning harus hati-hati. Ia pun berhenti bertanya.
Dalam sebuah perjalanan yang lain, dia kembali bertanya, kenapa kami sering berhenti. Jawaban saya masih sama: kami sedang berada di lampu merah. Dengan ringan dia bertutur: kalau lampu merah kita harus berhenti, nanti kalau lampu hijau kita boleh jalan. Dalam hati saya senang bukan kepalang karena ia mulai mengerti konsep tertib berlalu lintas.
Tibalah kami dalam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Lalu lintas di perempatan daerah Rawamangun agak kacau, kami berhenti di lampu merah, dia mengamati dengan menengok ke segala arah. Lampu masih merah, dan saya pun menarik gas. Dengan lantang dia berteriak, ”Ibu, ini kan merah tidak boleh jalan. Ibu salah!” Tetapi gas sudah ditarik, kami pun melaju melepaskan diri dari kesemrawutan.
Kecerdasan dan keberanian anak memang sudah seharusnya menjadi teladan bagi orang dewasa. Anak-anak cepat menangkap apa yang dia lihat, dengar, dan perhatikan dalam kesehariannya. Mereka pun cepat merekam dan mengingatnya. Juga kepoloson, ketulusan, dan sikap tanpa pamrih mereka. Ketulusan—terutama dalam ucap dan tindak—jarang kita temui dalam diri orang dewasa. Hampir semua orang dewasa memiliki motif. Orang Barat sering mengatakan: ”There no isn’t such thing as a free lunch”.
Menurut Wikipedia ungkapan ini muncul pada 1872. New York Times menceritakan bahwa makan siang gratis muncul sebagai tren umum di Crescent City (New Orleans). Mereka memberi makan siang gratis, meskipun minumnya harus bayar. Para pemilik bar bertaruh bahwa pengunjung akan minum lebih dari satu kali. Jadi, tetap saja ada orang yang membayar untuk sesuatu. Fakta bahwa model ini bertahan cukup lama, menunjukkan bahwa pertaruhan para pemilik bar tersebut dapat diterima secara bisnis.
Itulah sebenarnya strategi marketing. Dalilnya tetap sama bagi pemuja modal: keuntungan sebanyak-banyaknya. Orang dewasa sering terjebak dengan pola itu. Pun saat tidak melakukan transaksi bisnis. Saat mendidik anak-anak pun, orangtua sering terjebak dengan idiom itu: pamrih.
Marilah kita belajar dari anak-anak, yang berani menyuarakan kebenaran dalam sikap penuh ketulusan! Sekali lagi, tanpa pamrih.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...