Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 13:35 WIB | Selasa, 13 Januari 2015

Kantong-kantong Muslim di Prancis Rawan jadi Sarang Teroris

Di Prancis terdapat ratusan wilayah yang disebut zona no-go yang dihuni oleh penduduk imigran Muslim. Wilayah ini nyaris tak terkontrol dan berpotensi jadi sarang teroris seperti yang menyerang Charlie Hebdo. Dalam gambar tampak seorang polisi tengah berusaha memadamkan api di gudang yang terbakar di salah satu kawasan zona no-go, di dekat Le Bourget pada 4 November 2005, ketika kerusuhan besar terjadi. (Foto:foxnews.com)

PARIS, SATUHARAPAN.COM - Ratusan wilayah kantong-kantong penduduk Muslim di Prancis, yang dikenal sebagai zona no-go, diperkirakan bakal jadi sarang terorisme. Dikhawatirkan, serangan seperti yang terjadi pada Tragedi Charlie Hebdo pekan lalu akan diluncurkan dari wilayah-wilayah yang tertutup dan terisolasi ini.

Hal ini dikemukakan oleh Soeren Kern, peneliti senior pada Gatestone Institute, dalam wawancara dengan FoxNews.com Senin (12/1).

Dewasa ini ada 751 wilayah yang disebut zona no-go di Prancis. Lingkungan ini dihuni oleh penduduk Muslim miskin dan terpinggirkan. Tidak ada turis maupun tetangga yang berani memasuki kawasan itu, karena minimnya kontrol pihak keamanan.

Secara resmi, zona ini didisain oleh pemerintah Prancis sebagai zona sensitif urban atau disebut ZUS, tetapi oleh para pengamat, dipopulerkan sebagai zona no-go, mengingat keberadaannya yang mirip dengan lingkungan-lingkungan kecil di AS yang dikuasai oleh preman, pelaku kriminal dan pengedar narkoba, dimana pengawasan polisi juga sangat terbatas.

Namun, seiring dengan munculnya Tragedi Charlie Hebdo, ditambah dengan kenyataan ratusan Muslim radikal Prancis telah pulang kembali setelah dilatih dan bertempur di Suriah, sejumlah pakar  khawatir bahwa teror seperti yang terjadi atas kantor Charlie Hebdo akan diluncurkan dari kawasan no-go ini.

“Area-area ini umumnya kehilangan kontrol pemerintah," kata Soeren Kern.

Daerah-daerah ini, kata Soeren, merupakan lahan pembiakan radikalisme dan merupakan persoalan besar.

Dibentuk pada 1996, ZUS  tersebar di berbagai pinggiran kota di lingkungan kumuh Prancis, yang berusaha direvitalisasi dengan memberikan keringanan pajak untuk bisnis.

Sebagian besar zona ini terpisah dari lingkungan tetangga sekitar, dengan masing-masing ZUS dihuni 6000 penduduk.
Diperkirakan ada 5 juta orang tinggal zona no-go, dan sebagian besar mereka merupakan bagian dari 10 persen populasi Muslim Prancis.

Di beberapa zona, hukum Islam telah menggantikan sistem hukum Prancis untuk masalah-masalah sipil seperti sengketa properti, perzinahan dan perceraian.

"Umumnya wilayah ini merupakan tempat yang tenang dan tidak ada apa-apa yang terjadi," kata Daniel Pipes, presiden Forum Timur Tengah, sebuah tanki pemikir konservatif. "Tapi mereka cenderung meledak."

Salah satu contoh ledakan pada dekade terakhir, ialah kerusuhan pada tahun 2005, ketika  dua remaja di pinggiran kota Paris yang miskin meninggal pada saat polisi melakukan razia. Kematian itu memicu gelombang kerusuhan nasional. Selama tiga minggu  bentrokan antara pemuda imigran dan polisi terjadi di hampir 300 kota dan pinggiran kota. Peristiwa itu juga diwarnai oleh pembakaran sekolah, pusat-pusat komunitas dan ribuan mobil, serta hampir 3.000 penangkapan dan diperkirakan kerugian mencapai 200 juta euro akibat kerusakan.

Dua tahun kemudian, dua remaja minoritas meninggal setelah sepeda motor mereka bertabrakan dengan mobil polisi. Kerusuhan merebak dan aksi pembakaran juga tak terhindarkan.
Perusuh-perusuh yang oleh polisi digelari sebagai 'gerilyawan perkotaan' melawan polisi dengan menggunakan senapan dan bom bensin.

Sebagian dari masalah yang terjadi, kata para ahli, dipicu oleh ketidakmampuan Prancis untuk mengasimilasi penduduk Muslim. Tidak seperti Amerika, di mana setiap generasi menjadi lebih terintegrasi ke dalam identitas nasional, sebaliknya di Prancis, para ahli mengatakan hubungan antar kulit putih yang mayoritas adalah penganut Katolik Roma dengan penduduk berkulit gelap yang merupajan komunitas imigran Muslim kian berjarak.

Kern berpendapat, pemerintah Eropa memperketat tunjangan kesejahteraan yang ia percaya telah menjadi daya tarik imigran, terutama bagi mereka dengan keluarga poligami. Sementara Daniel Pipes percaya pemerintah Prancis harus memberlakukan kebijakan imigrasi yang lebih ketat dan menuntut pendatang baru merangkul budaya Barat dan menghayati kebebasan berekspresi.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home