Pertama Kalinya Rakyat Biasa Jabat Perdana Menteri Tonga
NUKUALOFA, SATUHARAPAN.COM – Perubahan terjadi di Kerajaan Tonga – sebuah negara jajahan Britania Raya. Untuk kali pertama pada akhir Desember 2014 mendapatkan seorang perdana menteri yang berasal dari non bangsawan yang bernama Akilisi Pohiva.
Pohiva selama beberapa dekade menjadi musuh dari Kerajaan Tonga. Menurut The Economist dalam edisi terbaru, Pohiva pernah menyerukan kampanye melawan korupsi pada periode 1990-an dan kemudian sebagai pemimpin Partai Demokrat Pohiva sempat dipenjara pada 1996 dengan tuduhan penghinaan terhadap parlemen.
Sekarang sebagai perdana menteri kemampuannya untuk menangani masalah-masalah praktis negara akan diuji dimana dia akan menjadi tumpuan harapan banyak warga Tonga memberantas korupsi.
Tonga berbentuk negara dengan kerajaan sebelum 2010, setelah periode tersebut negara diperintah presiden dan perdana menteri.
Saat berbentuk monarki absolut raja memegang kekuasaan mutlak dan mengendalikan sepenuhnya parlemen dan pemerintahan. 10 dari 14 anggota kabinet diangkat oleh raja dari lingkungannya sendiri, dan untuk seumur hidup. Hanya 9 dari 32 anggota parlemen dipilih oleh rakyat. Menjelang pemilu 2010, bentuk pemerintahan berganti karena pemimpin saat itu Raja Tupou V menyatakan mundur dari kekuasaan politik karena mendapat banyak tekanan dari warga Tonga.
Popularitas Pohiva terlihat sejak November 2014, dan pada akhir Desember 2014 dia memenangkan pemilihan perdana menteri dengan keunggulan 15 suara atas peringkat kedua Tuhan Ma’afu.
Pendahulu Pohiva, Tuhan Tu'ivakano, memimpin pemerintah tidak spektakuler dan efektif yang menyebabkan keuangan negara buruk. Tonga terkena risiko utang yang cukup besar ke Tiongkok, setelah meminjam dana guna pembelian alat berat untuk membangun kembali kawasan pusat bisnis ibukota yang hancur oleh kerusuhan pada 2006.
Economist menyebut Pohiva perlu bekerja keras – walau usia Pohiva tidak lagi muda, 73 tahun – karena harus mewujudkan reformasi politik yang dia gagas sejak 2006.
Kala itu kerusuhan terjadi akibat rakyat menuntut reformasi bidang politik yang dikomandoi Akilisi Pohiva. Raja George Tupou V kala itu dinobatkan oleh orang asing, karena tidak ada warga Tonga yang boleh menyentuh kepala raja. Resminya perayaan itu akan menelan biaya 3 juta dolar AS. Tetapi Akilisi Pohiva menduga, kas negara dari kerajaan yang sudah miskin itu akan terbebani lebih banyak lagi.
Pohiva harus bergerak cepat kalau tidak, dia bisa saja gagal mewujudkan munculnya demokrasi di negara kecil itu. (economist.com/dw.de/wikipedia.org).
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...