Karena Agama Rela Membunuh
SATUHARAPAN.COM – Belakangan ini dunia internasional sering disuguhi berita tentang bom bunuh diri yang terjadi di berbagai tempat, khususnya di negara-negara sekitar Timur Tengah yang dikenal sebagai daerah “Islam”. Negara-negara itu memang berada dalam keadaan politik yang tidak stabil atau yang sedang terlibat dalam konflik internal antarkelompok baik politik atau agama, seperti di Pakistan, Afghanistan Arab Saudi, Yaman Siria dan Libya. Sebagian bom bunuh diri itu diakui dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu sebagaimana dinyatakan. Hal ini seperti pengeboman sebuah rumah sakit di Afganistan baru-baru ini yang diklaim oleh kelompok Taliban sebagai perbuatannya. Namun sebagian tidak diketahui siapa yang bertanggung jawab.
Berbagai tindakan pengeboman sering terjadi di tempat umum dan terhadap gedung-gedung yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Tempat-tempat yang dibom tersebut seperti pasar, masjid, kantor polisi, pos-pos penjagaan dan atau perbatasan, gedung-gedung pemerintahan dan lain-lain yang terletak di pinggir jalan raya. Yang terakhir pengeboman terhadap tempat umum yang dinilai bahkan sebagai kejahatan perang adalah pengeboman rumah sakit di Afghanistan tersebut di atas. Yang menjadi korban adalah gedung-gedung serta jalanan yang hancur dan rusak dan tentu korban-korban manusia, termasuk para pengebom sendiri jika itu merupakan bom bunuh diri. Memang, kebanyakan pengeboman-pengeboman tersebut adalah tindakan bom bunuh diri.
Alasan Ideologis-Agama
Peristiwa-peristiwa bom bunuh diri dengan akibat membunuh orang lain terutama disebabkan oleh konflik antara pihak pelaku pengeboman dan pihak lain dan terutama pemerintah atau pihak yang berkuasa, atau pihak lawan politik dan agama. Memang, bagi kelompok-kelompok tertentu, khususnya yang berasal dari kalangan Islam, konflik dan alasan ideologi-politik tidak dipisahkan dari agama. Perjuangan politik sering kali berdasar pada ideologi yang identik dengan agama. Dengan kata lain, bagi kelompok-kelompok pejuang dan pemberontakan atau separatis itu, perjuangan di bidang politik adalah sama dengan perjuangan bagi agama. Di sini agama memainkan peran yang besar terhadap pilihan untuk berjuang terutama dengan tindakan bom bunuh diri.
Untuk perjuangan dan peperangan seperti itu, agama atau ajarannya biasanya dijadikan sebagai alat legitimasi dan justifikasi pembunuhan; bahwa boleh membunuh atau terbunuh atau bunuh diri demi kepentingan agama atau demi pembelaan terhadap Tuhan atau Allah dan agama. Tindakan-tindakan destruktif atau kekerasan lainnya yang juga diberi pengesahan dan pembenaran oleh agama seperti antipati dan kebencian terhadap agama atau orang atau umat agama lain dan menyebarkannya kepada banyak orang; merendahkan dan menghina ajaran dan tokoh-tokoh agama lain, menghambat umat lain untuk beribadah dan atau mendirikan rumah ibadah, merusak tempat ibadah yang sudah dipergunakan, menyerang kelompok umat agama lain yang sedang beribadah atau yang melakukan aktivitas keagamaannya.
Justifikasi dan legitimasi terhadap perilaku negatif tersebut oleh agama didasarkan pada pemahaman bahwa pihak lain itu bukan bagian dari kelompok dan aliran politik-keagamaannya, mereka memiliki ajaran yang berbeda atau bahkan bertentangan dan tidak benar menurut ajaran atau hukum Allah. Mereka adalah orang-orang yang tidak percaya dan tidak berkenan kepada Allah atau mereka adalah orang-orang kafir yang melawan bahkan menyerang-Nya. Karena itu mereka adalah orang-orang yang akan dihukum Tuhan. Dan jika mereka diperlakukan dengan keras, dihambat, dianiaya dan menderita atau terbunuh, itu adalah bentuk dan bagian dari penghukuman dari Tuhan Allah yang mereka pantas alami. Dan dipahami bahwa pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang melaksanakan perintah Tuhan atau mereka sebagai pembela-pembela agama dan Tuhan.
Sisi Negatif-Positif Agama
Ajaran agama yang kompromis dan mendukung kekerasan terhadap orang atau pihak lain yang berbeda tentu tidak dapat diterima oleh akal sehat dan logika. Apalagi, ajaran agama yang mengajarkan dan membenarkan pembunuhan terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri. Membunuh orang lain dan membunuh diri tentu tidak menghargai dan bertentangan dengan kehendak dan hukum Tuhan; bahwa kematian atau menentukan ajal manusia sebagai ciptaan-Nya adalah kehendak dan hak Tuhan atau pencipta-nya. Mestinya, agama yang selalu mendasarkan ajaran dan perilaku umatnya pada kehendak atau hukum Tuhan, mengajarkan dan mengutamakan kebaikan pada manusia. Tuhan Allah menghidupkan manusia, seharusnya manusia dalam agama apa pun bertugas menghidupkan atau paling tidak mendukung kehidupan manusia. Jadi ajaran agama yang mendukung pembunuhan atau bunuh diri adalah tindakan melawan kehendak Tuhan dan itu tidak benar. Tapi inilah realitas agama, ada sisi negatifnya.
Di balik sisi negatif agama tersebut, ada sisi positif dan menonjol dari agama, yaitu ajaran tentang nilai-nilai dan praktik spiritual dan moral-etis yang baik bagi manusia dan kemanusiaan. Nilai-nilai ini didasarkan pada ajaran dan sifat atau karakter Tuhan, seperti pengasih dan penyayang, pemurah dan pengampun; juga tentu penghargaan kepada ciptaannya, terutama manusia yang diciptakannya dengan kemuliaan dan hormat. Manusia dimuliakan dan dihormati bahkan oleh Tuhan sendiri. Jadi manusia menyikapi dan bertindak terhadap sesama manusia mestinya dengan karakter dan perilaku yang penuh kasih sayang, murah hati dan mengampuni. Inilah tanda penghargaannya baik kepada manusia dan kepada Pencipta-nya. Sebaliknya, jika manusia yang dimuliakan Tuhan berperilaku buruk terhadap manusia, menganiaya dan membunuh, ia melecehkan kodrat manusia dan tidak menghargai Tuhan sebagai Pencipta-nya.
Pertanyaan yang logis adalah: apakah layak seseorang disebut sebagai hamba, pengikut atau pembela Tuhan jika pikiran dan tindakannya penuh dengan kebencian, rasa permusuhan dan keinginan untuk menyakiti dan membinasakan manusia lain? Pantaskah ia disebut hamba Tuhan jika ia melakukan tindakan pembunuhan, dan juga bunuh diri? Akal sehat dan logika manusiawi akan menyatakan “tidak layak”.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Gereja Kristen Jawa dan Dosen Pascasarjana UKI.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...