Tanah Perjanjian
SATUHARAPAN.COM – Saat ini Eropa sedang mengalami krisis pengungsi. Ribuan pengungsi yang berasal dari daerah-daerah konflik di Timur Tengah dan Afrika, terutama sejak konflik di Libya, Irak dan Suriah membanjiri Eropa. Negara-negara seperti Jerman, Austria, Prancis, Belanda, Belgia dan Finlandia, pada awalnya menerima pengungsi tanpa batas dengan alasan kemanusiaan. Bahkan perdana menteri Finlandia memberikan rumahnya untuk tempat tinggal sementara para pengungsi. Namun saat ini, negara-negara Eropa ini mulai kewalahan sehingga pemerintahnya mulai menerapkan pembatasan. Pintu-pintu perbatasan di negara-negara yang dilalui para pengungsi melalui darat saat ini ditutup, seperti di Serbia dan Hungaria. Hal ini karena para pengungsi telah dan diindikasikan akan mengakibatkan gangguan sosial-politik dan ekonomi negaranya. Negara-negara Uni-Eropa harus mengadakan pertemuan mendadak untuk membicarakan masalah pengungsi atau migran, khususnya soal pembagian kuota untuk menampungnya.
Sebenarnya persoalan pengungsi dan migran sudah berlangsung lama di Eropa, Amerika Serikat dan juga Australia, yaitu ketika konflik berlangsung di Lebanon, Palestina-Israel, Irak, Afghanistan, Bangladesh dan Myanmar. Gelombang pengungsi terutama yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika menuju ke Eropa dan Amerika. Sedangkan yang berasal dari Asia Tengah dan Tenggara, yaitu Afghanistan, Bangladesh dan Myanmar kebanyakan menuju Australia. Indonesia yang dilewati jalur-jalur migrasi dari Asia ke Australia ikut menanggung beban mengurusi para pengungsi-migran tersebut. Sampai saat ini, beberapa tempat seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menjadi provinsi yang memiliki tempat penampungan pengungsi.
Tanah Impian-Tanah Perjanjian
Daerah tujuan utama pengungsi selama ini adalah Eropa, Australian dan Amerika. Namun saat ini, Eropa menjadi tujuan utama pengungsian dengan gelombang yang sangat besar. Ini terjadi karena secara teknis, jarak dan waktu perjalanan, Eropa adalah tempat terdekat untuk dicapai dari daerah Timur Tengah dan Afrika. Apalagi, negara-negara Eropa menyatakan komitmennya untuk menerima pengungsi. Eropa, Amerika Utara—Amerika Serikat dan Kanada—serta Australia menjadi tujuan migrasi karena memiliki dan memberikan jaminan yang jelas untuk sebuah kehidupan yang lebih baik dalam berbagai bidang, terutama jaminan sosial-politis dan ekonomi. Daerah-daerah ini secara ekonomi makmur dan secara politik aman, serta secara sosial-budaya-agama umumnya bersifat terbuka, kompromis dan kondusif bagi kehidupan budaya dan keagamaan bangsa lain. Karena itu Eropa, Amerika dan Australia menjadi “Tanah Impian” karena “berlimpah susu dan madunya”.
Negara-negara tujuan pengungsi atau migrasi itu bagaikan “Tanah Perjanjian” yang dituju oleh bangsa Israel dan sebelumnya para leluhur mereka, yaitu mulai dari Abraham, Ishak dan Yakub sebagaimana diceritakan di dalam bagian-bagian Alkitab yang dipegangi oleh umat Yahudi dan Kristen. Membandingkan arus pengungsi dari daerah-daerah konflik menuju negara-negara Barat saat ini, bukan tidak mungkin dapat diasumsikan bahwa leluhur bangsa Israel seperti Abraham, Ishak dan Yakub, dahulu juga mengalami kondisi memprihatinkan. Mereka mengalami penderitaan karena tekanan sosial-politik atau ekonomi di daerah asalnya sehingga meninggalkan daerah itu dan bermigrasi ke tempat yang memiliki “susu dan madu”; daerah yang menjamin keamanan, kedamaian dan kesejahteraan-kemakmuran politik, sosial dan ekonomi; yaitu tanah Palestina.
Alasan utama migrasi itu adalah hal-hal material, tetapi kemudian berdasarkan keimanan bangsa Israel, otoritas ilahi atau alasan “panggilan Allah” dijadikan “meterai” sebagai pengakuan dan pengesahan pendudukannya di tanah Palestina. Dan sangat ironis, “Tanah Perjanjian”, tempat susu dan madu, yang dituju oleh bangsa Israel dan leluhurnya dahulu, yaitu daerah Palestina dan Israel sekarang, mengalami konflik berkepanjangan antara kedua negara-bangsa tersebut sampai saat ini. Korban dan penderitaan material terbesar dialami oleh Palestina. Banyak yang terbunuh, rumah-rumah dihancurkan dan tanah mereka direbut oleh pemerintah-negara Israel. Hal ini yang menyebabkan banyak warga Palestina yang meninggalkan daerahnya dan menjadi pengungsi atau migran di negara-negara lain khususnya di Eropa dan Amerika.
Antara Harapan dan Realitas
Ada konflik dan penderitaan di daerah asal dan ada Tanah Impian yang dapat dicapai. Itulah kondisi dan pikiran-perasaan para pengungsi. Untuk menuju ke Tanah Impian atau “Tanah Perjanjian”, mereka menempuh berbagai jalan, baik udara, darat dan lautan. Dalam perjalanan itu, banyak di antara mereka yang tidak berhasil. Mereka menjadi korban keganasan alam dan kejahatan para pebisnis migran dan pengungsi. Sejak gelombang migrasi besar-besaran ke Eropa dimulai sekitar tahun 2000-an, telah ribuan bahkan belasan ribu orang yang mati sia-sia, terutama yang melalui laut karena perahu atau kapal yang ditumpangi mengalami kecelakaan atau tenggelam. Saat ini pengungsi dari daerah konflik di Siria dan Irak berusaha berjalan kaki menelusuri Serbia, Hungaria, Austria dan Jerman.
Penerimaan pengungsi karena terutama alasan kemanusiaan, awalnya menjadi alasan negara-negara Barat. Namun, persoalan pengungsi terutama karena begitu banyak jumlah mereka telah membuat negara-negara Eropa ini membatasi penerimaan. Perbatasan-perbatasan yang dilalui para pengungsi mulai ditutup. Ada negara yang mulai memulangkan para pengungsi ke tempat sebelumnya atau tempat asalnya. Apalagi dikhawatirkan bahwa ada juga orang-orang yang “menyusup” di antara pengungsi dengan maksud-maksud yang lain, seperti penyebaran agama dan terorisme. Jadi ada harapan di Tanah Perjanjian tetapi bagi banyak pengungsi realitas saat ini sudah tidak lagi begitu menjamin.
Solusi terbaik terhadap persoalan pengungsi bukan tersedianya tempat-tempat penampungan; bukan kerelaan dan kesediaan negara-negara “makmur” seperti di Eropa karena alasan kemanusiaan dan prestise negara atau bangsa. Solusinya adalah pada kesediaan, terutama Amerika dan negara-negara Barat tujuan pengungsi untuk menghentikan konflik-konflik di negara-negara asal pengungsi. Sangat tidak masuk akal jika negara-negara adi daya menyatakan tidak sanggup membantu mengatasi konflik-konflik itu. Ini sebenarnya tergantung niat dan ketulusan negara-negara tersebut. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, penciptaan atau pembiaran konflik dan penderitaan di berbagai tempat telah menjadi bumerang bagi mereka dengan “serangan balik” para pengungsi-migran yang membanjiri Tanah Impian-Tanah Perjanjian itu.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Gereja Kristen Jawa dan Dosen Pascasarjana UKI
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...