Karya Seni di Yogyakarta International Airport
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setelah pembatalan acara jumpa media sekaligus peluncuran commission work Art Program untuk Yogyakarta International Airport (YIA) yang direncanakan digelar pada Senin (23/3), menyikapi kondisi terkini soft launch karya commission work akhirnya dihelat tanpa adanya seremoni pada Minggu (28/3).
“Karena kondisi akibat pandemi COVID-19, kami tidak bisa menggelar konferensi pers mengenai Art Program Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) secara langsung,” kurator Art Program YIA Bambang ‘Toko’ Witjaksono menjelaskan kepada Satuharapan.com melalui sambungan telepon.
Bambang Toko memaparkan dalam tema Jogja Renaisans, seniman-perupa merespons tema ke dalam karyanya dalam perspektif pertemuan dan kesinambungan, yang dalam Bahasa Jawa dikenal dengan istilah gandheng renteng dalam tema kurasi Yogyakarta International Airport di Kulonprogo.
Tema tersebut dipilih dengan memperhatikan kaitan yang erat dengan aktivitas yang ada di ruang publik seperti di bandara, tempat banyak orang mengalami peristiwa yang kadang terasa tidak nyaman, sehubungan dengan psikologis penumpang ketika akan bepergian maupun ketika baru datang dari perjalanan.
“Mendatangi tempat baru maupun meninggalkan tempat yang baru saja disinggahi, tentunya akan mendapat kesan yang mendalam. Kesan yang baik pastinya yang kita harapkan. Kesan yang baik ini akan muncul dan terus mengena di hati setiap penumpang ketika mereka juga mendapat pengalaman yang mengesankan selama berada di bandara. Dalam kosa kata Bahasa Jawa, pertemuan dan kesinambungan disebut gandheng renteng, yang maknanya tidak dapat dipisah, melainkan menjadi satu kesatuan yang utuh,” papar Bambang Toko.
Pertemuan dan kesinambungan merupakan sebuah kesatuan yang solid itulah yang dituangkan seniman-perupa dalam bentuk citraan dua-tiga matra.
Melibatkan Seniman dan Kelompok Perajin
Program Art Program Bandara Internasional Yogyakarta melibatkan 12 seniman-perupa dan dua kelompok perajin dari wilayah DI Yogyakarta dan Muntilan. Proses kekaryaan terbagi dalam dua pola yakni commission work oleh 12 seniman-perupa yang menghasilkan 11 karya serta respons dua kelompok perajin pada dinding-ruang dengan kerajinan sebagai sebuah kesatuan fasad bangunan.
Berikut ini sebelas commission work dalam Art Program YIA:
Hamemayu Hayuningrat merupakan karya patung yang dibuat oleh Wahyu Santosa dalam ukuran 9 m x 6 m memanfaatkan medium cor perunggu. Karya patung ini merupakan simbolisasi Ibu Pertiwi dalam kaitan dengan konsep keseimbangan alam; bumi dan angkasa (ibu bumi, bapak angkasa), agraris dan maritim. Mengarah ke Perbukitan Menoreh, Gestur seolah mendaki menyongsong zaman baru mengandung petuah ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’.
Bedhaya Kinjeng Wesi merupakan karya patung dari Ichwan Noor dalam medium cor alluminium dan stainless steel berukuran 11m x 3 m x3,6 m. Karya patung ini merupakan simbolisasi gerakan pesawat terbang dan visualisasi gerakan tari Bedhaya Kinjeng Wesi yang diciptakan koregrafer RM Altiyanto khusus untuk kemudian didedikasikan sebagai tarian ikon Yogyakarta International Airport (YIA).
Perupa Entang Wiharso membuat karya pop-up relief berjudul Jogja on the Move dalam medium cor alluminium dan kuningan berukuran 20m x 4 m yang diaplikasikan di dinding Bandara YIA. Jogja On The Move, mengisahkan perjalanan serta perkembangan Kota Jogja, Kulon Progo, dan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada umumnya. Perkembangan ini tidak hanya dirasakan secara fisik, namun juga berpengaruh pada budaya dan pola hidup warga DIY. Terjadi tarik ulur dan tawar-menawar yang alot namun dinamis antara tradisi lokal dan modernisasi.
Memanfaatkan mixed media berukuran 10m x 9,5 m x 3 m pematung Lutse Lambert Daniel Morin membuat karya berjudul Among Bocah. Karya ini adalah sebuah sarana bermain bagi anak-anak. Meskipun berfungsi sebagai area bermain dan edukasi untuk anak-anak yang aman dan menyenangkan, juga merupakan sebuah karya patung yang artistik. Bentuk pesawat capung dipilih agar anak-anak dapat mengetahui sejarah dan seluk-beluk tentang pesawat.
Sebagai penghormatan kepada Desa Glagah yang menjadi area bandara Yogyakarta International Airport (YIA), seniman grafis Bonaventura Gunawan membuat karya pop-up relief dalam medium kenteng kuningan berukuran 10 m x 4 m berjudul Glagah. Kata Glagah berarti kembang tanaman tebu, yang dahulu banyak terdapat di area pantai Glagah.
“Pemilihan medium kuningan mempertimbangkan lokasi Bandara YIA yang berada di pinggir pantai. Dengan medium tersebut perawatan karya menjadi lebih mudah dan murah. Dan tentunya lebih awet dari korosi yang disebabkan oleh angin laut.” Jelas Bonaventura Gunawan dalam perbincangan ringan di Bentara Budaya Yogyakarta Sabtu (21/12) tahun lalu.
Budi Kustarto mengkombinasikan medium keramik daur ulang dan besi dalam karya pop-up relief berjudul Kebon Rejo. Karya berukuran 10 m x 4 m tersebut sebagai gambaran tentang ijo royo-royo gemah ripah loh jinawi, hijaunya kesuburan tanaman, dan kuningnya hamparan padi di sawah. Perwujudan dari sentra ketahanan pangan lokal yang tergambar dari Kebon Rejo.
Kolaborasi dua seniman-perupa Duvrart Angelo dan Lulus Setio Wantono menghasilkan satu karya instalasi spesial berjudul Palihan. Karya berdimensi 3 m x 4 m dalam Bahasa Sansekerta, Pali atau Pepali, yang mempunyai arti wejangan atau pesan. Hal ini menandakan ada sebuah tekad yang pernah diinisiasi dari wilayah itu. Palihan, dari awal kata alih, atau pengalihan. Dalam beberapa kisah turun-temurun yang bahkan sampai saat ini masih bisa dilacak keberadaannya dari masyarakat Kulon Progo, konon, dalam sebuah misi di masa perang Jawa, di mana pasukan dari Pangeran Diponegoro singgah di wilayah itu.
Karya pop-up relief Sindutan yang dibuat Fajar Andrian memanfaatkan kayu daur ulang berukuran 10 m x4 m. Sindu, dalam terminologi umum mempunyai arti “mengawal umat manusia”. Sementara, dalam Bahasa Sansekerta, terdapat istilah ‘sindu upaka’, yang berarti air, atau sungai. Posisi Sindutan sendiri memang terdapat jalan utama menuju ke daerah yang lain, seperti mengawal arah untuk ke tujuan daerah lain, di mana terdapat juga aliran Sungai Bogowonto. Relief Sindutan dibuat dari kayu daur ulang dan beberapa sisa kapal serta bangunan yang ada di Desa Sindutan.
Pop-up relief berjudul Jangkaran karya Wilman Syahnur menceritakan sejarah Desa Jangkaran. Nama Jangkaran itu sendiri berasal dari Jangkangan, yang diambilkan nama sebuah pohon jangkang (kepuh) karena di daerah tersebut banyak pohon jangkang besar dan lama-kelamaan kata Jangkangan berubah bunyi menjadi Jangkaran. Selain itu, konon dari cerita turun-temurun pernah ditemukan sebuah jangkar kapal yang menandakan bahwa sejak lama sudah terjadi interaksi dengan pendatang dari seberang berlanjut ke akulturasi.
Perupa Wedhar Riyadi dalam pop-up relief berukuran 15 m x 4 m dalam mixed medium berjudul Among Tani Dagang Layar mencoba mengangkat realitas parade masyarakat desa pada saat menuju pasar tradisional di hari pasaran. Hari pasaran Jawa seperti Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon masih menjadi patokan sistem perdagangan serta sistem kalender bagi masyarakat di Jawa. Among Tani Dagang Layar sendiri menjadi visi-misi Sri Sultan HB X yang disampaikan di hadapan rapat paripurna DPRD DIY pada tahun 2012.
Perupa I Made Widya Diputra membuat karya dalam mixed media berukuran 5,2 m x 4 m berjudul Tetanduran. Karya yang membungkus kolom ini merupakan stilisasi dari pohon manggis yang merupakan flora khas Kabupaten Kulon Progo. Sebagaimana amanat dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X dan Bupati Kulon Progo maupun para budayawan di Kulon Progo agar menampilkan flora Kulon Progo di YIA. Batang pohon dapat pula disimbolkan sebagai sebuah penyangga atau tiang (soko), sebagaimana soko dalam arsitektur Jawa mempunyai nilai yang luhur. Pada bagian daun, stilisasi dari bentuk sulur, bunga dan buah manggis yang diwarna dengan prada emas melambangkan keagungan dan kemuliaan.
Kelompok perajin Kasongan-Bantul (DIY) dan Muntilan-Magelang (Jawa Tengah) merespons dinding dan ruang di Lantai 1 (kedatangan), Lantai 2 (mezzanine), dan Lantai 3 (kedatangan) dengan 11 karya relief memanfaatkan batu andesit yang diaplikasikan di dinding. Kesebelas karya relief yang menjadi penanda masing-masing titik tersebut sekaligus menjadi kesatuan fasad ruang. Kesebelas karya relief tersebut adalah Glagah, Kebonrejo, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Hastabrata, Babat Alas Mertani, Babat Alas Mentaok, Babat Alas Pabringan, Palihan Nagari, Babat Alas Wanamarta bertutur tentang sejarah, budaya dan kesenian masyarakat Jawa serta narasi lima desa sebagai sebuah penghormatan pada area yang juga menjadi wilayah bandara Yogyakarta International Airport (YIA) yang diaplikasikan ke dalam 14 gerbang dengan teknis ukir kontemporer di atas batu andesit.
Di antara 14 gerbang tersebut, dengan bentuk dan reliefnya Hastabrata menjadi gerbang yang eye catching. Tema pada gerbang ini adalah tutur tentang prinsip kepemimpinan Jawa yaitu Hastabrata. Istilah Hastabrata berasal dari kitab Hindu berbahasa Sansekerta, Manawa Dharma Sastra. Konsep Hastabrata dalam kitab tersebut bahwa pemimpin kerajaan bertindak sesuai dengan karakter para dewa. Hastabrata pun menjadi tolok ukur sebuah kepemimpinan di masa itu.
Transformasi sifat-sifat dewa menjadi delapan unsur alam yaitu bumi, matahari, langit, samudera, api, angin, bulan, bintang. Kepemimpinan dalam Kraton Ngayogyakarta juga disimbolkan menjadi benda-benda yang menjadi pusaka kraton, yang disebut Regalia. Regalia yang dimiliki oleh terdiri atas berbagai benda yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro.
Kelompok perajin asal Kotagede-Yogyakarta membuat relief Lawang Papat dalam medium kuningan. Lawang Papat ini merupakan penggambaran Kori Agung atau Gerbang Utama memasuki Yogyakarta. Lawang Papat terinspirasi dari Benteng Baluwarti Kraton Yogyakarta dengan empat elemen sudutnya yang dikenal sebagai ‘pojok beteng’. Juga gerbang berbentuk plengkung (Plengkung Wijilan dan Plengkung Gading), yang selalu menjadi landmark Yogyakarta. Selain itu plengkung dan Baluwarti sebagai filter menuju Kuthagara (ibukota) dan Kedaton tempat pusat atau poros kehidupan di Yogyakarta.
Tentang Jogja Renaisans, Sri Sultan Hamengku Buwana X selaku Gubernur Pemda DI Yogyakarta dalam Sidang Paripurna DPRD DIY 2 Agustus 2017 menyampaikan pidatonya:
“Peradaban unggul, pada masa lalu telah menunjukkan bukti mampu menegakkan nilai-nilai keluhuran, keutamaan, dan jati diri Yogyakarta. Namun pada saat ini, ketiga karakteristik Jogja ini tidak lagi menjadi penuntun gerak bermasyarakat-bangsa, tindak pemimpin, kerja birokrasi, dan dinamika kehidupan elemen warga untuk menuju kemartabatan yang istimewa. Sudah semestinya keistimewaan Yogyakarta adalah untuk Indonesia. Bahwa menjadi Jogja, adalah menjadi Indonesia.
Renaisans, Jogja Gumregah, Jogja Istimewa dapat menjadi wahana penggerak masyarakat menuju ke peningkatan dimensi nilai, pencarian nilai-nilai kebenaran, dimensi ekonomi terkait nilai kegunaan, dimensi estetis pada keindahan, dimensi sosial pada nilai "trust", dimensi politik pada nilai kuasa, dimensi keagamaan, dan nilai ketuhanan yang berkebudayaan.”
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...