Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 02:15 WIB | Sabtu, 31 Oktober 2015

Kasih yang Seimbang

Kasih kepada Allah dan manusia mestinya seimbang.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Kesan apakah yang terlintas di benak Anda mendengar frasa ”ahli Taurat”? Negatifkah? Kesan tersebut tak terlalu salah.

Para ahli Taurat, sebagaimana dicatat para penulis Injil, sering bentrok dengan Yesus. Mereka acap menempatkan diri sebagai oposan. Apa saja yang dilakukan Yesus selalu dicari kesalahannya. Mereka juga berusaha menjatuhkan Guru dari Nazaret itu dengan berbagai pertanyaan jebakan.

Namun, ahli Taurat yang dicatat dalam Markus 12:28-34 berbeda. Penulis tidak memberitahukan namanya. Ketiadaan nama mungkin memang disengaja mengingat hubungan yang kurang baik tadi. Yang penting memang bukan penyanyinya, tetapi apa yang dinyanyikannya!

Berbeda dari kalangannya, ahli Taurat itu mengakui Yesus sebagai narasumber. Pengakuan itu sungguh signifikan—penting dan bermakna. Tanpa pengakuan, pertanyaan yang diajukan akan terkesan tidak tulus atau sekadar mengukur kepandaian orang.

Tampaknya, dia sedang bergumul dengan begitu banyaknya perintah Taurat yang harus ditaati—ada 613 aturan. Pertanyaannya: mana yang paling utama?

Ahli Taurat itu, meski bergelar ”ahli” ternyata masih mau bertanya. Kenyataan ini patut diteladani. Banyak orang malu bertanya karena takut dianggap bodoh; dan akhirnya malah bodoh beneran. Dan berkait dengan bertanya, Andi Hakim Nasution menyatakan: ”Yang seharusnya ditakutkan para ilmuwan bukanlah ketidakmampuan menjawab pertanyaan, tetapi ketidakmampuan mengajukan pertanyaan yang layak untuk dijawab.” Nggak bisa menjawab itu hal biasa; yang sungguh penting ialah kemampuan mengajukan pertanyaan yang layak untuk dijawab.  

Dia tak malu bertanya. Pertanyaannya memang tidak mengada-ada. Dia juga tidak sedang menguji kepandaian Yesus. Dia memang tidak tahu. Yesus menjawab dengan mengutip Ulangan 6:4-5.

Dengan cepat orang tersebut merespons: ”Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu…. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” (Mrk. 12:32-33).

Kemungkinan, ahli Taurat itu sudah menduga jawaban Yesus. Tetapi, dia sendiri merasa tidak punya wewenang untuk mengatakannya sebagai hukum yang paling utama. Dia mengakui Yesus mempunyai wewenang yang lebih tinggi. Karena itulah, dia kemudian menyapa Yesus sebagai ”guru”.

Yesus memperkenalkan Allah sebagai Pribadi yang mengasihi. Karena itu, manusia pun dipanggil untuk mengasihi Allah. Dan mengasihi Allah berbanding lurus dengan mengasihi manusia. Artinya, semakin orang mengasihi Allah, dia akan semakin mengasihi manusia. Mungkinkah mengasihi Allah yang tidak kelihatan, kalau seseorang tidak menaruh kasih kepada manusia yang kelihatan?

Kasih kepada Allah dan manusia mestilah seimbang sebagaimana salib Gereja Ortodoks Timur. Salib Gereja Barat, gereja-gereja di Indonesia termasuk dalam tradisi ini, palang vertikalnya lebih panjang ketimbang palang horizontalnya. Tetapi, salib di Gereja Ortodoks Timur, palang vertikal dan horizontalnya sama panjangnya. Artinya, kasih kepada Allah seimbang dengan kasih kepada manusia. Inilah kasih yang seimbang.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home