Kasus KPK: Standar Etik dan Moral Bangsa
Komisi Etik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akhirnya mengumumkan hasil pemeriksaananya tentang bocornya draft surat perintah penyidikan (Sprindik) terhadap Anas Urbaningrum yang diduga terlibat dalam kasus korupsi fasilitas olahraga Hambalang. Sidang Komisi itu digelar secara terbuka, hari Rabu (3/03) di Jakarta.
Sidang memutuskan bahwa yang membocorkan draft Sprindik itu adalah Wiwin Suwandi, Sekretaris Ketua KPK, Abraham Samad. Dia terbukti telah beberapa kali membocorkan informasi ke pihak lain yang tidak berkompeten. Sekalipun surat tersebut bukan termasuk rahasia, tindakannya dinilai bisa mengganggu dan membahayakan kinerja KPK.
Dua pimpinan KPK, Abraham Samad, dan komisioner Adnan Pandu Pradja juga dinilai telah melanggar kode etik KPK. Keputusan ini masih menyisakan masalah, karena dalam pemeriksaan, Abraham Samad menolak untuk memberikan Blackberrynya pada komisi untuk melengkapi informasi. Banyak pihak menyayangkan sikap ini.
Keputusan Komisi Etik ini bukan bertujuan melemahkan KPK, tetapi justru untuk menguatkan komisi ini dengan standar etik yang tingggi. Sebab, lembaga ini memikul harapan besar rakyat untuk membersihkan bangsa ini dari kasus korupsi yang telah menjadi gurita yang mengancam kehidupan bangsa. Hanya dengan menerapkan dan menegakkan standar etika tinggi KPK bisa menjalankan tugasnya dengan bertanggung jawab. Proses ini menegaskan seruan yang sekarang terus dimasyarakatkan: “Berani Jujur, Hebat!”.
Apa yang terjadi di Komisi Etik KPK semestinya bisa ditiru dan dikembangkan lembaga lain, khususnya di pemerintahan (DPR / DPRD, presiden, kantor kementerian, pemerintah daerah) dan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, serta lembaga tinggi lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan.
Kita tahu bahwa sebelum ini ada kasus tentang pemberian grasi kepada narapidana narkotika yang berbeda dengan rekomendasi yang diberikan oleh lembaga terkait. Peristiwa ini menandai adanya masalah etik di pemerintahan. Beranikah lembaga kepresidenan mengusut dan menegakkan standar etik yang tinggi? Rakyat meminta: harus berani dan segera lakukan.
Di kepolisian, ada sejumlah kasus yang melibatkan anggota polisi dalam tindakan melanggar hukum. Di Mahkamah Agung ada hakim agung yang mengubah hasil keputusan majelis hakim. Ada cerita tentang remisi bagi narapidana yang diperjual-belikan, dan perdagangan narkotika terjadi dan dikendalikan dari penjara. Ada jaksa yang menuntut ringan terdakwa yang anak pejabat tinggi, tetapi ada jaksa lain yang menuntut begitu berat pada kriminal yang dilakukan rakyat kecil yang dituduh mencuri beberap butir buah kelapa, karena kebutuhan ekonomi. Beranikah lembaga-lembaga ini menegakkan dan menjalankan standar etik yang tinggi? Rakyat berpendapat: harus!
Di DPR dan partai politik, ada orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus korupsi dan bahkan “mafia anggaran” serta ada yang memperlihatkan perilaku yang tidak pantas bagi seorang wakil rakyat. Di kementerian ada yang terlibat dalam kasus manipulasi dan korupsi projek, bahkan menggunakan perizinan untuk kepentingan sendiri. Di berbagai lembaga pemerintahan, pelayanan kepada publik jauh dari standar yang diharapkan. Beranikah lembaga-lembaga itu menerapkan standar etik yang tinggi? Rakyat berpendapat: tidak ada pilihan lain!
Jika lembaga-lembaga di pemerintahan, yang menjadi denyut utama kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak menerapkan standar etik yang tinggi, etika dan moral seperti apa yang akan terjadi pada kalangan rakyat, pada bangsa ini? Jangan sampai kita menjadi bangsa yang standar etik dan moralnya rendah. Dan kita menunggu tindakan nyata lembaga pemerintahan lain setelah apa yang terjadi di KPK. “Berani Jujur, Hebat!”
Editor : KP1
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...