Kasus Tolikara, PIKI: Papua Membutuhkan Affirmative Action
SATUHARAPAN.COM – Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI)menyarankan Papua harus ditangani secara kemanusiaan, bukan dengan kekerasan. PIKI menyerukan kasus di Karubaga, Tolikara, Papua perlu ditelaah lebih dalam.
Dalam siaran pers kepada satuharapan.com yang ditandatangani ketua umum Baktinendra Prawiro dan sekretaris jenderal Audy W.M.R. Wuisang, Rabu (22/7) menyadari bahwa Hari Raya Idul Fitri serta sembahyang Idul Fitri bagi umat Islam sangatlah penting. Sebuah momentum kemenangan spiritual yang memang wajib untuk disyukuri, termasuk bagi umat Muslim yang berada di wilayah Kabupaten Tolikara, Papua. Oleh karenanya PIKI sangatlah menyayangkan kekerasan yang terjadi pada saat Hari Raya Idul Fitri di Tolikara serta menyampaikan ungkapan duka mendalam bagi para korban dan keluarga korban. “Kami ingin menegaskan, tidak ada satu pun denominasi gerejawi yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, apalagi mengganggu peribadatan penganut agama lain,” tertulis dan siaran pers tersebut.
“Kabupaten Tolikara, dengan ibu kotanya Karubaga, merupakan pecahan Kabupaten Jayawijaya yang beribu kota Wamena, dan terbentuk sejak tahun 2002. Sejak tahun 1950-an wilayah tersebut merupakan pusat penginjilan dari para zending Unevangelized Fields Mission (UFM), Regions Beyond Missionary Union (RBMU) dan Asia Pacific Christian Mission (APCM). Dengan kembalinya Irian Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka ketiga organisasi tersebut bersepakat bersatu membentuk sebuah Sinode Gereja dengan nama Gereja Injil Irian Barat (GIIB) dan belakangan pada tahun 1998 hingga kini nama tersebut diubah menjadi Gereja Injil di Indonesia (GIDI).”
“Kehadiran GIDI di tanah Papua adalah sebuah perjalanan sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari tanah Papua. Dalam perjalanan waktu, seluruh elemen lain di Papua selalu berupaya menjadikan Papua sebagai Tanah Damai. Keharmonisan di Papua telah teruji oleh waktu dan banyak dinamika yang terjadi. Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar, tempat ibadah. Tradisi mengajarkan masyarakat Papua tidak boleh mengganggu tempat-tempat yang dipandang keramat/sakral atau suci menurut budaya setempat. Mereka meyakini akan mendapatkan celaka jika mengganggu tempat-tempat suci tersebut. “
“Ketika agama luar seperti Kristen dan Islam masuk ke Tanah Papua, tempat ibadah dari agama tersebut dipandang sebagai tempat sakral atau suci yang juga harus dijaga. Oleh karena itu selama ini orang Papua dari semua agama tidak pernah mengganggu, apalagi membakar, baik gereja maupun masjid.”
“Insiden Tolikara, Jumat (17/7) terasa makin menyedihkan,” menurut PIKI. Apalagi saat PIKI mencermati beberapa fakta yang sangat terkesan ingin “dilupakan”. Beberapa hal di antaranya:
Pertama, indikasi yang tidak kondusif sudah beredar beberapa hari sebelumnya yang kemudian menjadi kontroversial. Yakni “Surat Edaran” yang sulit untuk disebut resmi karena ada beberapa kekeliruan fatal di dalamnya. Sebab, nama Sekretaris GIDI maupun tanggal pelaksanaan keliru. Belum lagi larangan yang bukan hanya ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga anehnya untuk umat Kristen lainnya yang berbeda denominasi dengan GIDI. Juga, aparat keamanan dan juga terutama pemerintah setempat tidak bertindak cepat untuk memfasilitasi umat beragama agar tidak timbul kekisruhan sebagaimana yang akhirnya memang terjadi.
Kedua, penyebutan proses “penyerangan” pada saat Salat Id dan “pembakaran masjid” sebenarnya sangat bias dan menyesatkan karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Sesungguhnya para Pemuda GIDI ingin menyampaikan protes bukan menyerang. Tetapi protes tersebut dijawab dengan tembakan aparat sehingga memicu pembakaran fasilitas umum yang kemudian merembet ikut membakar musala.
Ketiga, aparat menjawab protes dengan menembaki para Pemuda GIDI membuat kami jadi terperangah dan sangat sedih atas sahabat-sahabat di Papua. Karena seakan prosedur penembakan telah menjadi baku (standard) atau resmi menghadapi protes masyarakat di Papua. Protes, sebenarnya juga dihadapi dengan tindakan yang lebih persuasif. Dalam kasus yang serupa yang menimpa banyak gereja dan umat Kristen di Indonesia, baik terkait pelarangan beribadah dan pembakaran serta penutupan gereja, para perusak dan/atau pemprotes tersebut tidak dihalangi untuk merusak, apalagi ditembak. Standar ganda penanganan masalah seperti itu di negara yang mengakui kebinekaan sungguh menyedihkan. Dan menjadi bertambah sedih karena hingga saat ini beberapa korban penembakan Tolikara masih ada yang telantar dan masih belum tertangani dengan baik.
Maka, Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) menegaskan, pertama, bagaimanapun pelarangan beribadah dan mengganggu peribadatan merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekerasan di Tolikara 17 Juli 2015 sangat kami sayangkan dan sesali. Namun demikian kasus Tolikara wajib ditelaah lebih dalam karena terdapat sejumlah besar kejanggalan di dalamnya, baik terkait dengan surat yang dianggap pemicu maupun efek besar yang ditimbulkannya beberapa saat setelah kekerasan tersebut berlangsung.
Kedua, sangat menyesalkan penanganan yang berulang kali keliru, berupa penembakan terhadap masyarakat yang melakukan protes. Papua membutuhkan affirmative action dan penanganan penuh kemanusiaan, bukan penembakan! Kami harus mengatakan berduka bagi rakyat Papua yang kembali disakiti dengan jatuhnya korban. Mengapa pendekatan persuasif, seperti yang biasanya dilakukan di bagian lain negeri ini, tidak diterapkan di Papua?
Ketiga, dalam kasus dinamika dan perbedaan pendapat di tingkat masyarakat sipil, sebagaimana kasus Tolikara, kami sangat mendorong penyelesaian pertikaian baik secara adat maupun hukum formal secara integral. Maka, dalam Kasus Tolikara ini, kami mendesak pemerintah pusat, presiden Republik Indonesia, untuk menuntaskan persoalan di Tolikara. (PR)
Ratusan Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka dalam Pertempu...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Ratusan tentara Korea Utara yang bertempur bersama pasukan Rusia mela...