Ke Arah Mana Ekumene Gereja? Catatan 63 tahun PGI
SATUHARAPAN.COM - Gerakan ekumene di Indonesia mula-mula dilembagakan dalam bentuk badan ekumenis regional di Yogyakarta (Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia, 1946) dan di Makassar (Madjelis Keristen Indonesia bagian Timur, Maret 1947). Kemudian pada tanggal 25-28 Mei 1948 wakil-wakil dari 49 jemaat berlatarbelakang Tionghoa di Pulau Jawa, Makassar, Pontianak, Singkawang dan Bangka-Belitung mengadakan konferensi di Jakarta; dan pada konferensi tahun berikutnya utusan dari 69 jemaat membentuk Dewan Geredja-Geredja Kristen Tionghoa di-Indonesia (DGKTI).
Reorganisasi Indische Kerk (Gereja Protestan di Indonesia) sejak 1933 sampai 1948 mengikat gereja-gereja bagiannya dalam suatu kesatuan gerejawi, yang ditawarkan sebagai wadah alternatif keesaan gereja-gereja di Indonesia. Di tengah pergolakan revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, suatu proses yang dimotori wakil-wakil badan-badan keesaan ini berhasil membentuk Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada hari Pentakosta, 25 Mei 1950.
Setelah 60 tahun lebih pembentukan wadah ekumene ini sudah cukup banyak kemajuan yang telah dicapai. Gereja-gereja makin saling mengakui dan saling menerima sebagai gereja—yang nampak dalam berbagai pelayanan antar-gereja—sekalipun masih ada gereja-gereja yang menjadi predator warga gereja-gereja lain sesama anggota PGI. Dari tahun ke tahun gereja-gereja mendaftar menjadi anggota baru, walaupun perlu diperiksa motivasinya masuk PGI.
DKG: Tonggak penting?
DGI dibentuk dalam semangat nasionalisme Indonesia: kesatuan gereja-gereja di tengah-tengah kesatuan bangsa Indonesia. Sebab itu tujuan DGI adalah membentuk Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di Indonesia. Setelah digumuli selama dua dekade, pendekatan keesaan struktural digeser dengan pendekatan keesaan fungsional—yang lebih memberi perhatian pada misi gereja—akhirnya menghasilkan Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG), yang diterima pada Sidang Raya ke-X di Ambon (1984).
Lima dokumen keesaan gereja itu mengenai pemahaman iman, panggilan bersama, pengakuan dan penerimaan antar-gereja, pengorganisasian DGI (kemudian menjadi PGI) dan program kemandirian teologi, daya dan dana. Secara ideal, melalui isi dokumen-dokumen inilah kesatuan gereja-gereja dinampakkan (visible unity).
DKG dianggap prestasi penting gerakan ekumene di Indonesia, tetapi kenyataannya masih sebatas naskah yang hampir tidak dikenal, dan tidak ada usaha-usaha serius memperkenalkan dan menjalankan isinya di kalangan gereja-gereja anggota. Kesenjangan ini mungkin dapat diatasi dengan melakukan revisi dari bawah, berdasarkan pengalaman dan pergumulan pelayanan gereja-gereja lokal.
Selain adanya “pencurian domba” ketegangan antar-gereja juga terjadi oleh pembentukan jemaat dari suatu gereja anggota PGI di wilayah yang diklaim oleh gereja lain sesama anggota PGI sebagai wilayahnya. Dalam hal ini pemahaman “gereja territorial” berhadapan dengan pemahaman “gereja etnis”, atau dengan “gereja denominasi”. HKBP atau Gereja Toraja, misalnya, adalah gereja etnis yang mengikuti perantauan warganya di seluruh Indonesia bahkan sampai di luar negeri, sementara gereja-gereja lain seperti GKE, GPM atau GKI Papua membatasi diri pada wilayah tertentu. Kesepakatan-kesepakatan dilakukan, misalnya antara Gereja Toraja dengan GKI Papua untuk tidak mendirikan jemaat-jemaat Gereja Toraja di Papua, namun kesepakatan seperti itu tidak lagi dipertahankan dengan GEPSULTRA di Sulawesi Tenggara.
Dalam hal ini penting menerima prinsip keesaan dalam kepelbagaian, bahwa pandangan suatu gereja tidak mutlak mengikat gereja lain sehingga terjadi penyeragaman, namun dalam hal adanya perbedaan perlu percakapan-percakapan untuk mencapai kesepakatan tertentu. Menjadi satu tubuh dengan banyak anggota yang berbeda-beda (Rm 12: 4-5) mengandaikan adanya tempat bagi perbedaan dalam kebersamaan, yang perlu diatur bersama.
Gerakan ekumene kita tidak hanya elitis pada pendekatannya dari atas ke bawah, melainkan juga lebih merupakan kegiatan para pimpinan gereja pada lingkup sinode di aras wilayah, nasional, atau global. Itu pun dalam bentuk konsultasi, konferensi dsb, yang hasil-hasilnya tidak dibawa pulang untuk ditindaklanjuti di jemaat-jemaat lokal. Berekumene menjadi identik dengan rapat atau konferensi di kalangan para pemimpin gereja.
Sudah waktunya PGI mengubah haluan dengan mengembangkan visi baru dan memfasilitasi gerakan ekumene di akar rumput, untuk mewujudkan gerakan bersama gereja-gereja setempat (sebagaimana impian ekumenis WCC New Delhi 1961).
Pentas Kolosal?
Salah satu aspek gerakan ekumene di Indonesia adalah hubungannya dengan perkembangan ekumene mondial. Berbagai perkembangan penting dalam gerakan ekumene sedunia dalam lingkaran WCC bergema kuat di Indonesia.
WCC berakar dari gerakan misi, dan karena itu juga kuat perhatian pada pekabaran Injil. Panggilan ekumenis dewasa ini tidak lagi memahami PI dalam rangka proselitisme, melainkan panggilan merawat kehidupan dan memelihara seluruh ciptaan dari berbagai kuasa kebinasaan, yang berakar dalam struktur-struktur kuasa yang korup dan menghisap, yang al. nampak dalam ketidakadilan dan pelanggaran HAM, intoleransi, ketamakan, pencemaran ekologi, dsb.
PGI mengidentifikasi bahwa di Indonesia konflik, kekerasan dan korupsi makin membudaya, sementara kolusi penguasa dan pengusaha dalam mengeksploitasi SDA (hutan, tambang, sungai, laut) makin berkembang seiring pemekaran kabupaten dalam salah kaprah desentralisasi. Pada arah itu, selain berusaha merangkul seluruh tradisi gereja, gerakan ekumene juga mengembangkan ekumene interfaith, panggilan bersama agama-agama untuk kehidupan dan kemanusiaan.
General Assembly WCC akan diselenggarakan di Busan, Korea, pada bulan Oktober-November 2013 dengan tema "God of life, lead us to justice and peace", yang diinspirasi oleh konteks kepelbagaian Asia dan oleh mendesaknya kebutuhan merawat kehidupan dan mencari keadilan. Suatu acara Perayaan Keesaan (Celebration of Unity), yang disebut sebagai pre-event General Assembly WCC, diselenggarakan di Jakarta dihadiri undangan 300-an sinode dan undangan gereja-gereja/badan-badan ekumenis dari luar negeri. Selain seminar, acara puncak berupa pentas kolosal yang “menampilkan tarian kolosal, paduan suara, hiburan dari artis-artis serta peneguhan Ikrar Nasional Kesatuan Gereja” bertempat di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Apakah keliru mengidentifikasi pola perayaan kolosal ini sebagai format ibadah kalangan mega churches? Perayaan keesaan gereja dalam kemeriahan show bizz seperti ini tidak peka terhadap konteks pergumulan gereja-gereja di Indonesia menghadapi berbagai kesulitan, seperti perusakan dan pelarangan membangun tempat beribadah, juga tidak sejalan dengan tema Busan.
Barangkali ini yang disinyalir seorang rekan sebagai mengaburnya vision and mission gerakan ekumene digantikan fashion. Betulkah?
Penulis adalah sejarawan gereja dan anggota MPH-PGI
Editor: Trisno S. Sutanto
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...